TAKDIR

Takdir

Salah seorang kawan suatu hari melontarkan wacana takdir ke dalam percakapan. Dengan kelembutan yang khas, ia menyatakan percaya bahwa setiap hal yang terjadi dalam dimensi segala, diperinci langsung oleh Tuhan. Manusia hanya menjalankan saja dan menerima skenario Sang Maha Suci. Otoritas manusia nyaris tiada artinya.

Begitu kecilkah manusia? Bagaimanakah posisi manusia selayaknya saat memandang takdir? Bagaimana dengan kehendak bebas dan kekuasaan manusia untuk memilih hidup? Bagaimana dengan usaha-usaha untuk merubah nasib?

Pertanyaan yang begitu deras itu kemudian tertabrak ketakutan terjebak dalam sesat pikir. Seorang kawan lain sembari berkelakar mengingatkan, “Hati-hati, banyak orang menjadi atheis karena mempersoalkan takdir.”

Tetapi, rasanya menjadi pasif dan manut saja pada semua yang disodorkan tidak sesuai dengan tujuan Tuhan memberi manusia akal, pikiran, dan nurani. Seandainya Galileo Galilei dulu termasuk tipikal orang yang nrimo, mungkin sampai saat ini kita percaya saja dengan konsep geosentris. Tuhan mau kita belajar, dan menabrak batas-batas ketakutan itu. Menabrak pula transedensi keraguan itu.

Filsuf Inggris Francis Bacon (1561-1626) memberi inspirasi, “Bila manusia mulai dengan kepastian ia akan berakhir dalam keraguan. Tetapi bila ia puas untuk mulai dengan keraguan, ia akan berakhir dengan kepastian.” Kita pilih saja jalan untuk berakhir dalam keyakinan atas kepastian walau dimulai dengan pijakan keraguan. Daripada mejadi seperti filsuf abad ke delapan belas, Edmund Burke, yang ketakutan dengan ide-ide pembelajaran dan mengatakan belajar hanya akan dilemparkan ke dalam lumpur dan diinjak seperti babi. Rasanya yang menjadi lumpur dan terinjak babi, kini, adalah dirinya sendiri.

Masalahnya, takdir memang objek yang absurd. Tak ada data ilmiah dan verifikasi kasat mata atas objek ini. Ini yang menjadikan diskusi mengenai takdir adalah jembatan menuju sebuah kembatan tipis yang menghubungkan antara logika dan keyakinan. Dari sini kita dapat berangkat melalui pilihan. Kita dapat mempercayai konsep bahwa nasib kita sendiri yang menentukan atau ditentukan secara permanen sejak awal dalam proses penciptaan. Beberapa kepercayaan dapat berpolar pada dua kubu ini. Dalil mereka saling menguatkan dan melemahkan.

Seorang apatis dapat saja kemudian menerima penuh bahwa kita adalah “boneka Tuhan” dalam skenarioNya. Tak ada pilihan lain. Lalu untuk apa otak kita diciptakan? Para pemalas akan diam saja dan kemudioan menjadikan takdir sebagai justifikasi penderitaan yang telah dan mereka hadapi. Sebagaimana John Oliver Hobbes, “Men heap together the mistakes of their lives and create a monster they call destiny.” Toh penghuni surga dan neraka telah ditentukan sebelumnya.

Yang menarik kemudian, Daud Ibrahim Al-Shawni dalam semi-fiksi kontroversialnya, Iblis Menggugat Tuhan, secara tegas menyatakan, “Jika ada pengampunan, maka bukan tak mungkin memang kehendak bebas itu ada.” Selain itu, jika memang kehendak bebas itu tak ada, kasihan juga malaikat-malaikat pencatat amal yang mengerjakan sesuatu yang hasilnya sudah ditentukan sebelumya.

Lalu? Sulit memang berdebat dalam koridor keyakinan, karena tumbukannya hanya memiliki kekuatan “saya benar.” Kecuali jika kita cukup arif untuk melihat kesempurnaan makhluk. Kesempurnaan penciptaan. Anatomi tubuh kita saja misalnya, bagaimana setiap bagian tanpa dapat direncanakan manusia dapat bekerja dengan tujuan masing-masing yang menjadi simfoni indah manusia, yaitu hidup itu sendiri. Dalam hal ini, bolehlah kita senada dengan pakar psikoanalisis Sigmund Freud yang dituding tak ilmiah, bahwa “Anatomy is destiny.” Dalam hal-hal seperti ini logika memang berkompromi, ada kekuasaan yang mengatur detil bagian hidup manusia. Kita tak dapat memilih anatomi sendiri bukan?

Tapi, hal itu tidak dengan sendirinya meletakkan kita untuk menyerah pada takdir. Tuhan memberi kita petunjuk melalui kitab suciNya agar kita dapat membedakan mana yang benar dan salah. Ada konsep pilihan di sana. Tuhan memberkahi para pekerja keras dengan kejayaan dan para pemalas kemiskinan. Menjadi kaya dan miskin kemudian menjadi pilihan. Indeks Prestasi dalam kuliah, contohnya, baik atau tidak juga dipengaruhi sejauh mana kita berusaha. Maka hidup menjadi pilihan.

Kontradiksi antara takdir yang telah diplot dan takdir yang kita pilih sendiri memang akan membawa dilema besar. Tapi, kita ambil sederhananya saja. Kembali ke konsep orang-orang tua. Mati, lahir, jodoh di tangan Tuhan. Tapi percayalah Tuhan bukan diktator, ia memberi kita petunjuk bukan doktrin belaka. Membuat kita dapat menentukan nasib seperti apa yang ingin kita terima. Tuhan memnerikan kepastian dan juga memberikan pilihan. Pilihan-pilihan itulah areal di mana manusia bebas berkehendak. Kebebasan yang tidak mengurangi kekuasaan tuhan sedikit pun, karena kebebasan dan konsekuensi atas pilihan itu sendiri, itulah takdir yang sebenarnya.

(Diterbitkan dalam Majalah Civitas Edisi 1 Tahun 2007)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "TAKDIR"

Posting Komentar