Ekonomi Indonesia, Antara Tionghoa dan Kaum Proletar

Ekonomi Indonesia, Antara Tionghoa dan Kaum Proletar

Oleh: Bobby Savero

Negara menjamin perlindungan, pendidikan, dan kenyamanan pelayanan pada setiap penduduk dari lahir hingga mati”

(Edward Bellamy, Jurnalis dan Eseis AS)

Membaca apa yang ditulis oleh M. Sadli dalam artikelnya yang dirilis oleh Business News, 13 Februari 2006, seperti ditampar di depan umum. Memang ada sebagian pendapatnya yang benar. Tapi juga banyak yang penulis rasa sebagai, suatu kesimpulan yang terburu-buru.

Hal yang ingin saya penulis adalah masalah keberadaan etnis tionghoa yang membedakan kondisi ekonomi di Indonesia dan grup Malaysia, Singapura, dan Thailand. Secara spekulatif M. Sadli mengajukan teori bahwa keberadaan etnis tionghoa di grup Malaysia, Singapura, dan Thailand yang memiliki kekuatan ekonomi sekaligus politik adalah kunci sukses ekonomi mereka. Sedangkan di Indonesia, karena kekuatan politik didominasi pribumi maka tak mampu bangkit dari keterpurukan.

Jika mengikuti emosi, tentu artikel ini sudah layak masuk keranjang sampah. Tapi, penulis tetap berupaya untuk menjaga netralitas pemikiran dan meninjau teori spekulatif M. Sadli tersebut.

Pertama, opini M. Sadli itu sendiri sebenarnya cukup tendensius. Teorinya tersebut seakan telah menempatkan suatu ras sebagai superior dibanding kaum lainnya. Opini ini mirip dengan konsep yang digulirkan oleh Friedrich Nietzche dalam Thus Spake Zarathustra, yaitu konsep Ubermensch alias manusia super. Di mana kekuasaan adalah bagian dari ambisinya, yang kalau perlu kejam dan keras. Sehingga lawan-lawannya lemah. Tidak ada orang-orang lain yang mampu menggantikan si Ubermensch. Tampak betul konsep ini sudah usang. Ketika politik apartheid dihapus, sebenarnya perang terhadap rasisme dan diskriminasi telah memulai momentum. Dan pandangan diskriminatif hanya membawa kita kembali ke zaman primitif.

Kedua, adalah tidak sepenuhnya benar bahwa etnis tionghoa di Indonesia tidak memiliki kekutan politik. M. Sadli pastinya tahu benar mengenai konglomerat-konglomerat yang ada di balik penguasa orde baru. Dapat dikatakan bahwa kebijakan politik ekonomi masa lalu juga “disesuaikan” dengan kehendak para konglomerat. Bahkan ada beberapa dari para konglomerat yang masih menikmati nikmatnya sisa-sisa kejayaan Orba. Walau beberapa juga sudah menikmatinya di dalam penjara.

Ketiga, jikalau memang M. Sadli menilai kaum pribumi terlalu menguasai politik sehingga seakan tindakan diskriminatif telah muncul terhadap etnis tionghoa, berbeda dengan apa yang terjadi di Malaysia, Singapura, atau Thailand. Sebenarnya ini menyangkut masalah historis. Kaum tionghoa di Malaysia, Singapura, dan Thailand tumbuh, berkembang, dan berasal dari keturunan yang sama. Tapi di Indonesia, kaum tionghoa adalah murni pendatang, yang ikut menguasai perekonomian ketika negara masih dijajah. Primitif memang, tapi pikiran tersebut masih ada dan bahkan mengakar bagi sebagian pihak.

Keempat, kesuksesan ekonomi tidak bergantung pada ras. Memang tidak salah ketika kita mengambil Cina sebagai contoh kesuksesan. Tapi kesuksesan ekonomi mereka tak semata-mata karena mereka tionghoa. Justru mereka sempat merasakan kesulitan besar ketika kaum komunis masih menjadi diktator. Keterbukaan akan dunia luar dan dimulainya era demokrasi ekonomi adalah titik balik bagi negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia tersebut.

Hal lain yang membuat penulis mengerutkan kening ketika membaca artikel M. Sadli ini, yang penulis kutip sebagai berikut: “Golongan pribumi adalah mayoritas akan tetapi yang berpendapatannya lebih rendah. Salah satu ciri orang miskin adalah punya nafsu mengkonsumsi lebih banyak dibandingkan pendapatan riilnya. Kalau masyarakat mau mengeluarkan uang lebih banyak dari nilai produksinya maka harga-harga akan naik. Inilah sumber inflasi di Indonesia.”

Penulis tak habis pikir. Bagaimana mungkin secara kasar inflasi dikambinghitamkan pada orang-orang miskin yang justru kesulitan dan bahkan tak punya sama sekali kemampuan ekonomi. Apakah M. Sadli kemudian menafikan bahwa kenaikan biaya produksi yang memicu kenaikan harga, aksi spekulasi investor di pasar uang, kebijakan fiskal dan moneter, dan lain sebagainya secara ilmiah jelas-jelas telah menyebabkan inflasi. Apakah kemudian kaum proletar yang memang mengkonsumsi lebih dari kemampuannya, karena bahkan kebutuhan dasar seperti pangan, papan, sandang, dan kesehatan sendiri telah out of reach, langsung divonis sebagai penyebab inflasi?

Kemudian yang juga pantas dikritisi dalah pandangan M. Sadli yang mengungkapkan bahwa pemerintah terpaksa mengeluarkan uang lebih banyak untuk pembangunan, dan juga kesehatan dan pendidikan sebagai bukti pemerintah telah terjebak dalam “gejala orang miskin” yang selalu mau hidup di atas kemampuan penghasilannya. M. Sadli juga menguraikan bahwa meningkatkan pembangunan ekonomi sebagai laju pertumbuhan ekonomi adalah salah pikir. Menurutnya investasi jauh lebih menentukan laju pertumbuhan ekonomi.

Di titik ini penulis kembali tercekat. Adalah kenyataan bahwa biaya kesehatan dan pendidikan sudah sulit dijangkau oleh masyarakat proletar. Jika subsidi dan pembangunan kesehatan dianggap pemborosan, maka penulis ingin sekali mengetahui pendapat M. Sadli terhadap porsi pembayaran cicilan dan pokok utang luar negeri Indonesia yang sudah teramat eksesif.(Lihat Pie chart di bawah ini sebagai referensi)

Komposisi Belanja Negara dalam APBN 2004 (Rp trilyun)

Pembayaran utang dan cicilan utang yang sangat berlebihan itu rasanya jauh lebih merupakan pemborosan yang nyata. Apalagi utang yang ada sekarang banyak sekali yang merupakan “utang najis”, yaitu utang yang tidak sepenuhnya dipakai untuk membiayai kebutuhan negara, tetapi banyak dikorupsi. Bahkan World Bank pernah membuat laporan (walau tidak dipublikasikan) bahwa 30% utang luar negeri Indonesia dikorupsi. Belum lagi utang dalam bentuk bantuan barang dan proyek yang juga dimonopoli oleh kreditor, yang nilainya tidak jelas. Sekali lagi penulis bertanya, di mana pemborosan yang sebenarnya?

Lagipula, apakah kita harus melupakan tujuan essensial dari berdirinya negara? Ketika Indonesia, konsep yang sejalan dengan eksistensinya adalah teori perjanjian masyarakat, yang didukung oleh Thomas Hobbes, John Locke, Rousseau, dan Montesquieu, yaitu sebuah teori yang menyatakan bahwa terjadinya negara karena adanya perjanjian masyarakat, untuk membentuk suatu organisasi yang bisa melindungi dan menjamin kelangsungan hidup bersama.

Dalam kaitannya dengan ekonomi, pasal 33 UUD 1945 yang telah diamandemen juga secara tegas memberikan definisi perekonomian Indonesia sebagai perekonomian yang berdasar atas demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, kekeluargaan dan keseimbangan. Maka pelayanan kesehatan dan pendidikan adalah bagian dari keseimbangan.

Pencetus teori welfare state, Prof. Mr. R. Kranenburg, menyatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat. Maka akan sangat ceroboh jika pembangnan ekonomi dinafikan, kemudian pertumbuhan ekonomi hanya dipandang dan dikonsentrasikan pada angka persentase belaka. Kesejahteraan rakyat adalah indikator yang sesungguhnya. Sebagaimana yang dtuturkan oleh seorang penulis AS, Mark Lutz:

Economics can no longer be seen as the theory of maximum possible production with consequent effects on welfare, but rather, in the opposite manner, as the theory of maximum possible welfare with consequent effects on production.”

Sebagai penutup, mari kita menyimak apa yang diamanatkan UUD 1945 pasal 34 ayat (2): “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan.” Kita semua, termasuk M. Sadli tentunya, harus merenungi kembali arti angka-angka statistik dan kesejahteraan yang nyata bagi proletar.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Ekonomi Indonesia, Antara Tionghoa dan Kaum Proletar"

Posting Komentar