Demonstrasi: Perjuangan Kontekstual

Demonstrasi: Perjuangan Kontekstual

Oleh: Bobby Savero*

Sebuah memori berputar kembali ke dalam kepala penulis, ketika menonton sebuah film yang berjudul Jakarta 1998, yang mengangkat tragedi sosial politik dalam kurun waktu Mei-Desember 1998, periode dimana proses sebuah rezim korup, yang telah tiga dasawarsa lebih berkuasa, digulingkan oleh rakyat. Korban material dan jiwa turut menyertai peristiwa yang menjadi salah satu tonggak dimulainya reformasi multiaspek di Indonesia.

Kini delapan tahun sudah tragedi itu berlalu. Artinya telah delapan tahun pula reformasi bergulir. Demonstrasi masih menjadi pilihan beberapa pihak untuk menyuarakan kepentingan, ide, dan kritiknya. Demonstrasi sengketa hasil Pilkada, demonstrasi mahasiswa, aksi jahit mulut, hingga demonstrasi buruh terus mewarnai kehidupan demokrasi di negara ini. Tapai apa lacur, cita-cita mulia reformasi, yang konon masyarakat adil dan makmur, tampaknya belum juga tercapai. Demonstrasi pun telah menjadi semakin anarkis, tak berarah, dan impoten. Skeptisisme baru telah muncul, demonstrasi telah kehilangan essensi dan menjadi perjuangan mandul tak berarti.

Apa sebenarnya demonstrasi? Mari kita lihat dari definisi demonstrasi itu sendiri, sebagai pijakan analisis. Demonstrasi adalah tindakan untuk menyampaikan penolakan, kritik, ketidakberpihakan, mengajari hal-hal yang dianggap sebuah penyimpangan. Maka dalam hal ini, sebenarnya secara bahasa demonstrasi tidak sesempit, melakukan long-march, berteriak-teriak, membakar ban, aksi teatrikal, merusak pagar, atau tindakan-tindakan yang selama ini melekat pada kata demonstrasi. Seharusnya demonstrasi juga “mendemonstrasikan” apa yang seharusnya dilakukan oleh pihak yang menjadi objek protes. Sedikit bukti, bahwa dalam pengertiannya saja telah muncul, meminjam terminologi Jaya Suprana, kelirumologi. Bagaimana dengan implementasinya? Kita akan kaji bersama.

Agar analisis ini tepat sasaran, maka penulis dengan sengaja akan mempersempit pengertian demonstrasi menjadi unjuk rasa turun ke jalan seperti yang selama ini menyatu pada persepsi masyarakat. Ada baiknya memulai analisis ini dari pertanyaan, bagaimana relevansi demonstrasi saat ini?

Tanpa bermaksud mengecilkan apa yang dikorbankan untuk demonstrasi, tapi penulis melihat bahwa demonstrasi telah kehilangan relevansinya. Aksi-aksi mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, serikat buruh, massa tak dikenal dan lain-lain yang mengklaim sebagai pejuang masyarakat atau korban otoritas tirani kini tampaknya hanya menjadi angin lalu. Bahkan aksi-aksi demonstrasi saat ini, telah mengundang cemoohan akibat kerugian kolektif secara material atau moril bagi masyarakat luas. Ban-ban yang dibakar, pagar-pagar yang dirintuhkan, pendopo-pendopo Pemda yang dibakar, mulut-mulut yang dijahit, serta korban-korban yang berjatuhan akibat aksi anarki telah menjadi kenyataan menyedihkan yang berujung tanpa solusi. Aksi-aksi ini mungkin akan mengundang wartawan media, tapi tidak membuat keputusan-keputusan publik berubah. Nihil adalah hasil yang riil.

Pemerintah, yang biasanya menjadi objek demonstrasi, pun telah menjadi kebal terhadap aksi protes ini. Mungkin masih terngiang dalam ingatan kita, statement Presiden yang mengatakan akan tetap ngotot menaikkan harga BBM walau masyarakat berniat mengadakan demonstrasi. Frekuensi demonstrasi yang menjadi sering juga membuat aksi ini kehilangan aura semangatnya. Otoritas telah menjadi tuli akan bentuk protes anarkistis seperti ini (entah ada hubungannya atau tidak dengan jumlah dokter THT yang hanya 700 di negeri ini, sumber: data yang disajikan Republik BBM Indosiar 8 Mei 2006).

Lalu apakah demonstrasi memang telah kehilangan makna dan kekuatan perjuangan? Apakah demonstrasi telah kehilangan relevansinya sama sekali? Apakah demonstrasi telah terjebak dalam impotensi yang nyata? Di sinilah penulis memandang bahwa demonstrasi masih memiliki relevansi, hanya saja telah menjadi bentuk perjuangan yang sangat kontekstual. Untuk memahaminya, marilah kita membuka sejarah untuk menyingkap tabir demonstrasi.

Tragedi Tiananmen di Cina, Revolusi Prancis, Revolusi Amerika Serikat, perjuangan-perjuangan kemerdekaan di seantero dunia, Peristiwa People Power di Filipina, revolusi di Rusia, hingga Peristiwa 1966 dan 1998 di Indonesia telah menjadi contoh nyata bagi kita bahwa demonstrasi dan aksi rakyat telah menjadi bagian dari sejarah penting bagi negara maju dan berkembang. Semua menjadi bukti bahwa demonstrasi adalah proses yang wajar dan bahkan kontributif bagi perkembangan dan perbaikan suatu bangsa. Akan tetapi ada benang merah yang dapat ditarik dari kejadian-kejadian demonmstrasi dan mass movement di atas.

Semua gerakan dan perjuangan yang saya sebut tadi, hampir kesemuanya terjadi akibat kepemimpinan pemerintahan yang telah menganut diktatorisme dan atau otoriterian. Pemerintahan diktator di Cina, Rusia, Prancis, dan Indonesia. Pemerintahan penjajah. Sistem negara yng lalim. Kesemuanya telah menjadi pemantik atas terbakarnya semangat berjuang dan perubahan dalam diri masyarakat, sehingga muncul semangat people power.

Itu pula yang terjadi di Indonesia tahun 1966. Apa yang dituturkan Soe Hok Gie dalam catatan hariannya mengenai kediktatoran Soekarno adalah hal nyata. Soekarno yang sanagt berjasa dalam memproklamasikan kemerdekaan RI sekaligus presiden pertama, kemudian menjadi terlalu sentralistis. Orang-orang disekitarnya telah menutup Soekarno dalam hubungannya yang murni dengan masyarakat kemudian membiusnya dengan wanita-wanita cantik di sekelilingnya. Kemudian muncul pernyataan presiden seumur hidup yang makin menegaskan absolutisme kepemimpinannya. Sebagaimana yang dikatakan Lord Acton, sejarawan Inggris abad 19, “Power tend to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.” Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak adalah korupsi yang nyata. Itulah yang kemudian terjadi. Kepercayaan masyarakat pun hilang. Rezim seperti ini memang harus segera ditegur atau bahkan dijatuhkan, maka demonstrasi massa adalah pilihan.

Tahun 1998, bisa dibilang adalah sejarah yang berulang. Soeharto yang telah puluhan tahun memimpin rezim orde baru dan menjadi bapak pembangunan juga sangat berjasa. Tapi kemudian kroni-kroninya telah memanfaatkan dan membatasinya dengan publik. Tragedi Tanjung Priok, Daerah Operasi Militer di Aceh, hilangnya para aktivis, Petrus, atau tragedi trisakti dan Semanggi seakan semakin mengukuhkan betapa mutlaknya kekuatan dan kekuasaan orde baru menjadi seperti apa yang digambarkan Lord Acton. Ketika itu korupsi, kolusi dan nepotisme (sebenarnya sekarang pun masih terjadi), menjadi semacam hal yang ditolerir dalam melanggengkan dan melaksanakan kekuasaan. Ekonomi berbasis utang juga merupakan biang ketidakpercayaan. Saat itu apa yang ditulis oleh novelis Rusia, Alexander Solzhontsyn, dalam artikelnya di The Observer, mengenai negaranya menjadi kenyataan yag relevan di Indonesia, “In our country the lie has become not just a moral category but a pillar of the state!” Di negara kita, kebohongan telah menjadi tak hanya kategori moral tapi pilar negara. Keadaan menyedihkan itu telah menarik rakyat dan mahasiswa untuk turun ke jalan dan menyuarakan kebenaran.

Bagaimana dengan kini? Pasca 1998, cita-cita mulia reformasi mungkin belum tercapai. Namun satu hal, harga mahal yang bahkan berupa nyawa telah dikorbankan oleh para pejuang 1998 telah menghasilkan kebebasan dan perubahan bertahap. Pers yang bebas, ruang kritik yang terbuka lebar, amandemen UUD 1945, lahirnya lembaga-lembaga negara seperti: Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan lain-lain telah menjadi sinyalemen terhadap perubahan di negara ini, terlepas cita-cita murninya belum tercapai.

Justru itulah fokus generasi masa kini. Bagaimana caranya memanfaatkan apa yang telah ditebus pejuang 1998 untuk meneruskan perjuangan mencapai cita-cita Indonesia yang adil dan makmur bisa tercapai. Dalam hal inilah konsep perjuangan yang tepat harus dikedepankan. Kondisi yang dihadapi bukan lagi pemerintahan yang diktator, lalim, otoriter, dan dikelilingi tembok kekuasaan. Tetapi yang dihadapi saat ini mungkin hanya kebijakan yang timpang, pejabat publik yang tidak kompeten, kekuarangan pengetahuan pemerintah mengenai masyarakat, kemiskinan, kebodohan, korupsi, kolusi, atau nepotisme.

Maka kesadaraan akan konteks perjuangan menjadi penting. Ini bukan saatnya mahasiswa dan masyarakat “meruntuhkan tembok”, tapi mengisi ruang kosong yang merupakan sisa-sisa keruntuhan tembok kelaliman. Mengisi ruang publik adalah area perjuangan yang lebih relevan. Menjadi pejabat publik yang amanah, menjadi legislator yang memperjuangkan kepentingan rakyat, menjadi pengusaha yang membuka lapangan kerja, menjadi pegawai negeri yang mau melayani masyarakat, menjadi pegawai swasta yang taat pajak, menjadi aktivis LSM yang tulus memperjuangkan rakyat, menjadi insan pers yang kritis, konstruktif, dan tanggung jawab, menjadi oposan yang ikhlas atau bahkan menjadi pengengguran yang santun adalah posisi dalam ruang publik yang terbuka lebar pasca orde baru demi tercapainya cita-cita mulia.

Ini saatnya menyikapi perjuangan dengan lebih cerdas. Bukan sekedar demonstrasi, teriak dan bakar-bakar ban yang anarki, karena demonstrasi nyata-nyata adalah perjuangan yang kontekstual. Disadari atau tidak, masih ada pihak-pihak yang terus menginginkan Indonesia yang penuh dengan kerusuhan dan terpecah belah. Sebagai pencinta dan loyalis bangsa ini, kita harus lebih wapada untuk menghindari berulangnya sejarah kelam Indonesia seperti yang pernah digambarkan G. W. F. Hegel, salah satu filsuf dan idelis Jerman terbesar, “History teaches us that people have never learnt anything from history” Sejarah mengajari kita bahwa manusia tidak pernah belajar apa pun dari sejarah. Semoga kita lebih cerdas dalam menyikapi sejarah. Amin.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Demonstrasi: Perjuangan Kontekstual"

Posting Komentar