Komunisme, Sebuah Pandangan Objektif

Paranoia. Mungkin itu terminologi yang tepat untuk menggambarkan perspektif kebanyakan rakyat Indonesia terhadap kata komunisme. Ya, dan menurut penulis ketakutan itu telah menjadi irasional. Faktanya, sebagian besar orang tidak mengetahui apa definisi dan isi dari mazhab komunisme. Kemudian, kontroversi seakan menjadi atribut resmi dalam perdebatan dibuat dan dicabutnya peraturan konstitusi yang melarang beredarnya marxisme, leninisme, dan komunisme di Indonesia. Yang lebih fatal, ketakutan itu ternyata didasarkan pada sejarah bahwa komunismelah yang membuat munculnya peristiwa 30 September. Padahal, fakta yang sebenarnya tidak pernah jelas. Kebenaran yang sesungguhnya belum terungkap. Sehingga sejarah yang menjadi landasan ketakutan itu, seperti tidak berdasar.

Inilah yang menyebabkan penulis bersama rekan-rekan intelektual mencoba untuk menguliti komunisme secara objektif, langsung dari “kitab suci” mereka, yaitu Manifesto Komunis. Manifesto Komunis sendiri adalah buah pemikiran dari Karl Marx, yang dibantu oleh Friedrich engels. Manifesto ini juga disusun untuk menjadi dasar bagi pergerakan Liga Komunis, yaitu persatuan buruh rakyat yang pertama.

Jika ditelaah secara terperinci, terlihat benar ke mana arah Manifesto Komunis hendak dibawa. Manifesto ini menjadi semacam panduan dan arah bagi pergerakan buruh, awalnya di Jerman lalu di seluruh dunia. Ternyata, muncul kenyataan yang berbeda dengan apa yang selama ini menjadi stigma bagi rakyat Indonesia. Komunisme ternyata lahir sebagai bentuk perlawanan atas penghisapan, perbudakan, penindasan, dan kesewenang-wenangan kaum konglomerat, yang dalam manifesto disebut kaum borjuis.

Dan memang inilah yang terjadi di berbagai negara saat itu. Atau bahkan sampai sekarang. Kaum pemilik modal terus menjadi kaya, dan melaksanakan “penindasan” ekonomis terhadap rakyat banyak. Rakyat banyak inilah yang biasnya menjadi pekerja, dalam hal ini pekerja kasar yang tidak diberi keleluasaan untuk kemudian dapat mencapai hidup yang lebih bermartabat.

Karl Marx sendiri, dalam mnifestonya juga mencantumkan apa saja yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan itu. Sebagai contoh, menurutnya negara harus melakukan hal-hal berikut yang sedapatnya disesuaikan dengan keadaan masing-masing negara:

1) Penghapusan milik berupa tanah dan penggunaan segala sewa tanah untuk anggaranNegara.

2) Pajak penghasilan progresif yang berat.

3) Penghapusan hak waris.

4) Penyitaan milik semua emigran dan pemberontak.

5) Pemusatan kredit di tangan Negara, dengan perantaraan sebuah bank nasional dengan kapital Negara dan monopoli penuh.

6) Pemusatan alat-alat perhubungan dan pengangkutan ke dalam tangan Negara.

7) Penambahan pabrik-pabrik dan perkakas-perkakas produksi yang dimiliki oleh Negara; penggarapan tanah-tanah terlantar, dan perbaikan tanah umumnya sesuai dengan rencana bersama.

8) Wajib kerja yang sama untuk semua, pembentukan tentara-tentara industri, terutama untuk pertanian.

9) Penggabungan antara perusahaan pertanian dengan perusahaan industri, penghapusan berangsur-angsur perbedaan antara kota dan desa, dengan pembagian penduduk yang lebih seimbang ke seluruh negeri.

10) Pendidikan cuma-cuma untuk semua anak di sekolah-sekolah umum; penghapusan

Beberapa poin masih dapat diperdebatkan. Tapi beberapa poin lainnya justru memberikan perspektif baru dalam mengambil kebijakan. Pemerintahan Indonesia telah lama terkungkung dalam perpektif barat, kapitalisme. Pengambilan kebijakan seringkali hanya meneruskan pemiskinan dan pembodohan. Misal, penerapan utang luar negeri yang eksesif adalah contoh. Beban utang yang sudah begitu berat itu, tidak pernah dicoba untuk dimintai pengurangan apalagi penghapusan. Padahal, jika berbicara utang luar negeri Indonesia, pembayaran utang luar negeri Indonesia adalah perbudakan ekonomi. Mengapa saya katakan seperti itu? Karena, ketika kita menilik utang luar negeri Indonesia yang sebesar Rp 1.300 trilyun dan kemampuan membayar per tahun atas utang pokok dan cicilan utang kurang lebih Rp 71,98 trilyun (asumsi pembayaran tahun 2005), maka secara kasar Indonesia baru akan mampu melunasi utangnya dalam tempo 180 tahun! Itu pun dengan asumsi bahwa hingga 180 tahun itu tidak ada penambahan bunga utang—suatu asumsi yang mustahil. Artinya hingga 180 tahun mendatang Indonesia akan terus mengganggarkan biaya pendidikan, kesehatan, infrastruktur dengan pas-pasan. Sebuah penganiayaan ekonomi. Membiarkan ekonomi Indonesia terus dipaksa menjadi mesin penghasil uang bagi negara donor dalam bentuk perbudakan ekonomi. Menyedihkan bukan?

Lalu, penggunaan utang itu sendiri tidak pernah transparan. Utang dalam bentuk bantuan proyek, misalnya, adalah objek yang kabur. Kita seringkali tidak dapat mengukur berapa besar sebenarnya nilai riil dari bantuan proyek. Belum lagi, setiap bantuan itu dilakukan dengan menggunakan tenaga asal negara donor. Artinya, sebenarnya negara donor sedang melakukan ekspansi pasar dengan membuka akses bagi perusahaan-perusahaan asal negara mereka dengan dibiayai utang yang dibebankan kepada Indonesia. Secara sederhana, Indonesialah yang membiayai usaha pertumbuhan ekonomi negara donor! Padahal pertumbuhan kesejahteraan Indonesia sendiri sudah terlampau menyedihkan.

Itu hanya sebuah contoh. Kebijakan penerimaan utang yang dilandasi kapitalisme. Komunisme memang hadir untuk melawan kemapanan itu, kemapanan yang tidak menyentuh rakyat tapi menyengsarakan. Sehingga alangkah baiknya, kita tidak perlu menjadi takut tanpa sebab. Bahkan, tidak ada salahnya kaum intelektual mulai melakukan diskusi untuk membedah komunisme secara lebih objektif, sekedar untuk memperkaya perpektif dalam mengambil kebijakan.

Akan tetapi, komunisme bukan tanpa cela. Lahirnya ideologi yang didasarkan pada rasa simpati Karl Marx yang melihat penindasan kepada kaum proletar dikombinasikan dengan pemikirannya yang brillian itu juga memiliki celah kerusakan. Logika yang menjadi dasar lahirnya komunisme, juga ikut membuat mereka memiliki semangat untuk memperbaiki semua keadaan, semua tanpa kecuali. Ini mungkin yang agak ceroboh. Termasuk segala tatanan nilai, termasuk agama. Manurut Marx, komunisme bukan melanjutkan segala tatanan nilai kehidupan, tapi membuat yang baru.

Ini yang harus diwaspadai. Sangat diwaspadai, selain kecenderungan mereka untuk memperbaiki keadaan dengan cepat, alias revolusi. Sedangkan kita tahu, revolusi mana yang tak butuh korban. Korban di sini dalam konteks apa pun harus diperhatikan dengan cermat, kita tidak ingin lagi konflik menjamah negeri ini.

Bagaimana pun, tidak ada ideologi yang lepas dari cela. Kapitalisme yang kita sanjung-sanjung dan dijadikan landasan, ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan bangsa kita, yang katanya besar dan bermartabat tidak punya kemampuan untuk mensejahterakan masyarakatnya sebagaimana teori berdirinya negara. Kemana pula tujuan negara kita yang tertera pada pembukaan UUD 1945? Semua hanya menjadi retorika belaka.

Saya hanya mendambakan masyarakat Indonesia yang lebih objektif. Saya tidak kemudian mengagung-agungkan komunisme, malah saya beranggapan kita semua perlu berhati-hati, tapi tidak timpang. Kapitalisme juga berbahaya. Saya menyarankan kita kembali ke nilai luhur kita sebagai manusia. Agama adalah jawaban sempurna. Soekarno telah lama menyadari hal itu. Ia mengerti betul berbahayanya berbagai konsep ideologi. Oleh karena itulah lahir Pancasila, yang merupakan perkawinan dari kebaikan berbagai ideologi. Entah kenapa, Pancasila yang tadinya saya sepelekan, hanya materi pelajaran yang jadi kewajiban formalitas kini tiba-tiba mulai terbit auranya. Saya jadi ingin disebut pancasilais. Itu saya, anda? Silakan membuat persepsi sendiri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Komunisme, Sebuah Pandangan Objektif"

Posting Komentar