Sebuah Strategi Bernama Partai Politik

Partai politik (parpol). Rasanya tak perlu bicara teramat banyak untuk menjelaskan terminologi ini. Setiap orang memiliki persepsi tersendiri yang melekat kuat. Sebagian bilang partai politik adalah kebusukan terstruktur, kumpulan orang-orang yang haus kekuasaan, atau organisasi perusak tatanan demokrasi itu sendiri. Ya sudahlah, setiap orang boleh beropini. Akan tetapi, dalam tulisan ini penulis akan membedah sedikit saja pandangan kontemplatif penulis atas partai politik.

Menurut, UU No. 31 Tahun 2002, Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Klise sepertinya. Jika partai politik berjalan sesuai dengan definisinya, rasanya kita tak akan mendengar cap buruk dialamatkan kepada parpol.

Akan tetapi, kehadiran parpol memang tak terelakkan dalam eskalasi sistem demokrasi di Indonesia. Keutuhan demokrasi ala Indonesia memang terasa akan pincang tanpa parpol. Tak dapat ternafikan memang, kehadiran parpol jelas mengusung kepentingan. Itulah hal natural yang kadang tidak disadari. Parpol memang lahir untuk kepentingan. Parpol lahir adalah upaya sekelompok orang yang memiliki kepentingan untuk kemudian membuat kepentingannya menjadi kepentingan publik. Hal ini memang sahih, sesuai konstitusi, tak terbantahkan.

Pandangan ortodok terhadap parpol harus dipisahkan dari kejernihan intelektual. Dengan menggunakan akal sehat, kita bisa tahu betul bahwa selain racun, parpol juga resep yang dapat dimanfaatkan untuk memanfaatkan sistem politik demi kepentingan rakyat. Masalahnya sekarang, bagaimana resep itu kita aplikasikan secara benar.

Parpol sebenarnya justru dapat dibalik menjadi alat propaganda dan perebut hegemoni rakyat atas pemerintahan. Jabatan-jabatan publik memang ditarungkan melalui proses politik, yang sebagian besar melibatkan parpol. Artinya, tinggal bagaimana memastikan parpol-parpol yang berani “berdarah” untuk rakyat yang boleh bertarung dalam sebuah proses pemilihan yang adil. Sehingga parpol yang berkuasa pada ranah eksekutif atau pun legislatif dapat menggunakan aksesnya, seperti menurut Sigmund Neumann, untuk aspirasi dan keinginan dalam golongan-golongan di masyarakat.

Yang sehat untuk proses se-elegan itu adalah partai-partai dengan senjata pertarungan hanya program. Partai afeksi dan ideologi, bila hanya dimaknai secara fanatis oleh masyarakat hanya akan menghasilkan output Pemilu yang berbahaya. Berbahaya di sini dalam konteks, para eksekutor dan legislator adalah orang-orang dengan kemampuan program minim, tetapi memang memiliki identitas tertentu yang khas. Sayangnya, itu tidak penting.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana membatasi parpol yang lahir dengan kriteria sempurna? Untuk menghindari apa yang disebut Roger Bacon, filsuf penganut skolastis dalam karya besarnya “:Ópus Magnus”, pengandalan pada otoritas yang tidak tepat. Satu-satunya jalan adalah mulai berpikir untuk membatasi parpol.

Cara ini bukan dimaksudkan untuk mengkebiri semangat demokrasi, tapi sebuah perbaikan yang harus kita pahami. Pertama, maraknya parpol sebenarnya merekat dengan euforia demokrasi pasca runtuhnya orde baru. Jadi merupakan efek temporer belaka. Kedua, semakin banyak parpol, maka anggaran pemerintah untuk subsidi parpol akan membengkak pula. Ketiga, kebanyakan parpol sebenarnya, partai berbasis kharisma tokoh. Contoh mudah tentunya dapat dibayangkan rapuhnya Partai Demokrat dan PDI Perjuangan tanpa Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. Masih banyak lagi contoh partai seperti itu, yang mengandalkan ulama ternama, poltikus muda, sampai artis yang m,erasa mampu menjadi pemimpin negeri ini.

Untuk mengakomodasi ketiga hal di atas memang diperlukan sebuah strategi. Layaknya permainan sepak bola, kejelian memanfaatkan pemain adalah kunci utama kemenangan bersama. Strategi ini haruslah menganut pembatasan bertanggungjawab atas lahirnya parpol beserta dengan keikutsertaannya di Pemilu. Menurut hemat penulis, sistem multipartai selektif dapat menjadi acuan baru untuk demokrasi Indonesia yang lebih sehat. Kita dapat terus membiarkan parpol berdiri, asalkan dengan persyaratan ketat (dapat dimasukkan pula electoral treshold). Sehingga, semakin ramping partainya, masyarakat akan mulai didorong untuk memilih berdasarkan program yang ditawarkan. Tidak tendensius pada identitas tertentu.

Perampingan ini akan dapat menghemat anggaran pemerintah pusat maupun daerah untuk subsidi parpol. Kemudian untuk mengakomodasi pihak-pihak yang merasa mampu menjadi pemimpin negeri ini, kita dapat saja menyediakan akses untuk calon independen nonpartai untuk pemilihan presiden. Kita dapat mengaplikasikannya, seperti yang telah dilakukan saat pemilihan gubernur di Nanggro Aceh Darussalam.

Pada akhirnya, masyarakat akan tetap memiliki pilihan yang lebih sehat atas parpol-parpol yang ada. Dan para pemilik modal (dalam hal ini juga kepercayaan diri yang kukuh untuk mencalonkan diri) dapat mendapat akses untuk maju ke pemilihan pejabat publik tanpa harus berafilisasi dengan partai mana pun yang mungkin tak sesuai dengan garis perjuangannya. Hal seperti ini yang perlu ditekankan dalam merancang ulang desain sistem politik Indonesia, menuju sistem perpolitikan yang lebih kondusif, murah, dan representatif.

Yang juga tak boleh lupa diingatkan, adalah setiap perubahan, mengutip pendapat Voltaire, haruslah disikapi dengan pertemuan akal budi sebagai jalan tengah yang memunculkan keutamaan moral. Moralitas ini yang harus dijaga, agar perubahan selalu bernuansa perbaikan. Bukan berbau ambisi kotor kekuasaan. Partai politik memang rentan, akan tetapi dapat dimanfaatkan demi kepentingan rakyat. Tinggal duduk bersama mengatur strateginya, dengan catatan tetap berada pada koridor moralitas. Sulit?

Nah, inilah pendidikan politiknya!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Sebuah Strategi Bernama Partai Politik"

Posting Komentar