Akuntansi Syariah (bukan) Sebuah Ulasan

Akuntansi Syariah

(bukan) Sebuah Ulasan

Terlalu naif rasanya jika penulis harus mengaku bahwa tulisan ini adalah sebuah ulasan mengenai akuntansi syariah. Ini disebabkan karena penulis memang tidak memahami detail teknis pelaksanaan akuntansi syariah selain apa yang biasa disebut, garis besar.

Diskusi multimateri terjadi pada Senin malam lalu (13/11). Diskusi yang menarik pembicaraan sisi teknis akuntansi syariah (yang meliputi non-Riba dan penggunaan metode cash basis) kembali pada perdebatan klasik mengenai ketangguhan rezim Eropa dan Islam. Dua klaim yang bertabrakan mengenai kepemilikan orisinal atas ilmu akuntansi mengawali pertarungan yang kemudian menjadi ideologis.

Diskusi dan perdebatan dengan berbagai hal yang diikuti dengan kata “syariah” entah kenapa selalu nyaris terjadi dengan tensi yang tinggi. Kenapa? Jelas, karena konsep yang ditawarkan memang acapkali, sebagian atau keseluruhan, bertabrakan dengan konsep yang dijalankan oleh masyarakat banyak. Misalnya keraguan seorang kawan yang mendalami akuntansi ketika mengetahui cash basis digunakan oleh akuntansi syariah. Apakah relevansinya memadai dengan perkembangan akuntansi keuangan global?

Keraguan seperti ini akan memaksa logika untuk mencoba angkat bicara. Kaum pendukung akuntansi syariah, misalnya, akan memeras otak untuk mencari landasan logis terhadap pilihan ideologis akuntansi syariah terhadap metode yang diaplikasikan. Pun para liberalis akan sepenuh tenaga mencari “kelemahan” dalam pilihan ideologis itu. Koridor pembicaraan teknis serta merta akan melebar menjadi filosofis agamis.

Dalam keadan demikian, sekularitas, memang terlihat menonjol. Kesan yang muncul adalah fakta dan keyakinan harus diadu, dan apa yang paling mudah adalah menyerah kalah, sembari berkata “Kita dapat menggunakan konsep syariah jika disesuaikan dengan keadaan dan bertahap.” Penggunaan tahapan mungkin dapat dimaklumi. Merubah konsep yang mengakar selama puluhan tahun bahkan ratusan memang bukan simsalabim. Yang jadi masalah adalah bila terminologi penyesuaian diterjemahkan menjadi pengangkangan terhadap keyakinan. Penyesuaian-penyesuaian yang imitatif, dan secara substansial tak berbeda dengan metode konvensional berhaluan liberal.

Inilah yang terjadi dalam pembuatan standar pelaksanaan akuntansi syariah. Secara kasat mata tak jauh berbeda dengan akuntansi konvensional. Jika pelaksanaannya tak banyak berbeda (yang membedakan hanya penampilan pegawai bank syariah dan konvensional misalnya), maka mimpi menegakkan syariah di Indonesia bagaikan membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan. Masihlah sebuah perjuangan dan perjalanan yang panjang.

Lalu? Tak solusif memang bila tulisan singkat ini hanya bicara sana-sini. Karena memang tak ada objek konkret yang dapat dituju. Maka, membuka jalan perubahan dari diri sendiri adalah titik mulai yang tepat, dan diharapkan secara masif dapat berbuah kesadaran otentik murni terhadap pentingnya kajian metodis atas ke-syariah-an akuntansi.

Toh, perubahan yang grasa-grusu memang bukan pilihan yang sangat bijak. Karena, gaya “asal ada dulu” tak pantas lagi didengungkan. Kita harus sudah berada pada tahapan matang dalam pelaksanaan akuntansi syariah. Untuk itulah, dalam hal ini, sekali lagi sekularitas tak dapat diterima. Perancangan standar, sebagai awal, tak dapat dilakukan oleh akuntan atau ahli agama. Yang dapat melakukannya dengan sangat baik adalah akuntan yang ahli agama.

Tapi, jika memang akuntan seperti itu masih langka layaknya badak cula satu, maka yang paling mudah memang perubahan kecil oleh siapa saja melalui sarana diri sendiri. Sehingga, walaupun sistemnya sampah, secara substansial masyarakat dan praktisi dapat memulai sendiri ke-syariah-an walau tanpa embel-embel syariah yang biasanya menakutkan kalangan kiri-tengah.

Bukankah Indonesia memang bukan negara agama? Jadi, ini bukan masalah siapa yang menggagas dan menolak embel-embel syariah. Bukan pula masalah kanan-kiri-tengah. Ini hanya sebuah upaya dialogis untuk mencari jawaban atas kebobrokan ekonomi negeri ini. Memang, Indonesia bukan negara agama, tetapi tak berarti pula Indonesia adalah negara tanpa agama bukan? Jika memang konsep syariah, sejujurnya, memiliki arahan substansial ke arah perbaikan, menghilangkan paranoia terhadap pembahasaan yang arabik bukan sebuah kemustahilan dan penting bagi peradaban bangsa kita.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

1 Response to "Akuntansi Syariah (bukan) Sebuah Ulasan"

  1. Anonim Says:
    25 November 2009 pukul 20.23

    mantap gan...

Posting Komentar