Ketika mengkaji apatisme dalam kampus

Ketika mengkaji apatisme dalam kampus, penulis memiliki preferensi untuk mencari terlebih dahulu definisi pasti dari kata apatisme, agar pembahasannya lebih tepat dan terstruktur. Apatisme adalah kata serapan dari Bahasa Inggris, yaitu apathy. Kata tersebut diadaptasi dari Bahasa Yunani, yaitu apathes yang secara harfiah berarti tanpa perasaan. Sedangkan menurut AS Hornby dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, apathy is an absence of simpathy or interest.

Dari definisi-definisi di atas, maka dapat ditarik satu benang merah definisi apatisme, yaitu hilangnya simpati, ketertarikan, dan antusiasme terhadap suatu objek. Selanjutnya ketika kita menghubungkannya dengan apatisme dalam kampus, secara lebih sempit lagi, apatisme memilih kepemimpinan sebagai objeknya, maka kita mulai memperoleh bayangan.

Sudah sejak lama apatisme menjadi momok bagi kepemimpinan dan pemerintahan. Apabila kita ingin mencari data mengenai apatisme maka ada puluhan hingga ratusan contoh. Dari perkembangan politik dunia ketiga hingga negara-negara maju. Kebanyakan memang ada dalam lingkup politik. Semuanya menjadi pengalaman besar bagi kita untuk mengkaji dan menghadapi kasus apatisme dalam kampus.

Akan tetapi, menurut hemat saya, ketika ingin mencari akar dan pemecahan masalah maka semua pihak harus rela membuka lebar-lebar pemikirannya, menghilangkan justifikasi sempit, dan memulai pandangan yang permisif. Saya setuju dengan apa yang dicetuskan oleh Immanuel Kant, seorang filsuf dan pencetus teori negara hukum murni, dalam karyanya Critique of Pure Reason. Ia menelurkan konsep bahwa pengetahuan berasal dari apriori (penalaran) dan aposteriori (pengalaman). Nah, dengan dasar nalar dan pengalaman itulah saya yakin baru kita dapat memperoleh obat atas penyakit kronis apatisme.

Mengapa ada apatisme? Darimana apatisme bermula? Tidak perlu repot mencari jawabannya, karena sebenarnya kita mengetahuinya secara nyata. Florynce R. Kennedy, seorang pengacara dan aktivis sosial asal Amerika Serikat dalam bukunya Color me flo: My Hard Life and Good Times mengatakan: “If you want to know where the apathy is, you’re probably sitting on it.” Setiap orang mungkin dapat berpikir buruk dan tertawa kecut terhadap kekonyolan apatisme, tapi terkadang mereka tak menyadari bahwa mereke sendiri sebenarnya sedang menduduki benih-benih apatisme dan mengembangkannya.

Lompatan dari apa yang dilihat dan ketidakpuasan, menuju kritik tanpa perbaikan dan solusi juga bentuk dari apatisme. Itulah yang harusnya membuat setiap unsur pemimpin di mana saja, termasuk dalam kampus, menjadi mawas diri. Tentu saja kehilangan perasaan, perhatian, ketertarikan, dan antusiasme terhadap suatu objek, dalam hal ini kepemimpinan, maka ada beberapa kemungkinan akar permasalahan.

Pertama, bisa saja kepemimpinan telah menjelma menjadi kekuatan yang lalim dan cenderung diktator sehingga apapun yang dilakukan oleh masyarakat yang dipimpinnya sama sekali tidak diperhitungkan dan dianggap tidak memberi kontribusi. Sehingga arah kepemimpinan hanya akan mengikuti kehendak satu orang, pihak, atau golongan belaka. Hal ini tentunya akan mengunci semangat masyarakat untuk memberikan suara dan kontribusi dalam kehidupan sosial dan politik dalam kotak stagnansi, karena telah terdoktrin dalam pemikiran setiap orang bahwa pun mereka menelurkan kontribusi dan melaksanakan hak suara toh akan berujung pada kenihilan semata.

Kedua, kepemimpinan mungkin saja telah menjadi buta dan tuli terhadap kepentingan dan keinginan publik yang sebenarnya. Banyak pemimpin yang menilai diri mereka terlalu tinggi sehingga mereka merasa mengetahui benar apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat yang dipimpinnya, sehingga mereka menganggap apa yang ada di kepala mereka yang bergulir sebagai program mereka adalah upaya terbaik untuk memenuhi kebutuhan.

Hal ini sebenarnya dapat dianalogikan sebagai diagnosa dokter. Dokter dapat memahami penyakit, memberi diagnosa, kemudian mencarikan obat tidak hanya berdasar pada asumsi dan pemikirannya. Tapi ia juga harus proaktif mendengar, menampung, dan mengolah secara utuh keluhan-keluhan sang pasien beserta dengan data dan fakta medis yang ada. Sepanjang pengetahuan penulis, hanya dokter hewan yang tidak memerlukan keluhan-keluhan dari pasiennya. Dan saya yakin, para pemimpin tahu dan dapat membedakan masyarakatnya dengan hewan!

Ketiga, apatisme yang menyeruak bisa saja karena masyarakat merasa bahwa para pemimpin beserta dengan organisasinya dirasakan oleh masyarakat tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kehidupan mereka. Siapa saja dan apa saja yang para pemimpin lakukan terpaksa dimasa-bodohkan.

Sebagai contoh, di kampus kita, Media Center STAN pernah mengangkat artikel mengenai mahasiswa yang sudah bertahun-tahun tidak pernah menggunakan hak pilihnya, karena dia menganggap tidak ada pengaruhnya eksekutif dalam dunia kampus dan bagi dirinya. Itu adalah fakta yang tak terbantahkan. Kita juga tidak dapat memvonis miring dan memandang sinis pada orang-orang apatis. Introspeksi adalah hal yang utama, apa memang keberadaan dan ketidakberadaan pemimpin tidak memberikan perbedaan?

Keempat, menurut hemat saya, apatisme juga dapat lahir dari masalah keterwakilan. Bisa saja para pemimpin telah bekerja dengan pola yang baik sesuia dengan yang direncanakan. Tapi, apabila pemimpin yang ada dan para pelaku aktivitas sosial serta politik hanya berasal dari golongan terbatas, sangat mungkin akan muncul kekecewaan dan apatisme masyarakat.

Contoh konkret ada di depan mata. Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk menjadi perwakilan daerah disamping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah hasil dari akumulasi kekecewaan ketidakterwakilan daerah dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) versi orde baru. Terobosan “senator-senator’ dalam DPD diharapkan dapat menerangi kegelapan pola perwakilan DPR, yang bahkan sampai saat ini masih diragukan kinerjanya. Jadi, orang-orang yang duduk dalam pemerintahan baik global sampai kampus memungkinkan apatisme terjadi secara otomatis.

Kelima, hal ini lebih spesifik terjadi di kampus kita. Kenyamanan dan keamanan yang tersedia bagi mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara telah menyurutkan semangat banyak kalangan untuk “beraksi” dan mencurahkan semangat, simpati, dan antusiasme pada kepemimpinan dan kegiatan kampus. Jaminan kerja dan ancaman Drop Out telah “mencegah” banyak mahasiswa untuk tetap berlindung di zona nyaman. Walau banyak orang menganggap STAN sebagai kampus perjuangan, tapi idealisme yang kabur, rasanya akan menimbulkan persepsi bahwa STAN hanyalah persinggahan sebelum bekerja. Terminologi perjuangan hanya ada dalam awang-awang belaka. Benarkah? Pertanyaan yang perlu kita renungi bersama.

Rasanya lima hal di atas cukup untuk memberikan alternatif jawaban atas pertanyaan yang telah penulis ungkap pada bagian awal tulisan ini, Mengapa ada apatisme? Darimana apatisme bermula? Sekarang sampailah kita pada bagian yang krusial. Lalu apa?

Apa yang dapat kita lakukan? Membiarkan? Dengan sendirinya seperti kata Florynce Kennedy, kita telah menduduki apatisme. Dan secara tak sadar memeliharanya. Mudah saja, hanya keterbukaan dan sikap yang lebih permisif tapi bertanggungjawab yang bisa menjadi jembatan menuju jalan keluar. Bila kita hanya memandang rendah dan sinis kemudian terus ditelan kebingungan saat menghadapi apatisme, menurut hemat penulis sama saja dengan menabur pupuk pada pohon tua bernama apatisme. Introspeksi adalah jalan keluar. Membuka diri adalah solusi pasti. Bersikap adil, amanah, dan menentang pengekangan yang diskriminatif adalah langkah awal menuju kehidupan sosial politik yanglebih berwarna. Seperti kata Immanuel Kant, pemecahannya ada pada kombinasi apriori (nalar) dan aposteriori (pengalaman). Keduanya telah tersaji di depan kita. Bila kita terlalu egois, dan menafikaan salah satu atau bahkan keduanya. Maka pemecahan apatisme selamanya akan menjadi retorika belaka.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

1 Response to "Ketika mengkaji apatisme dalam kampus"

  1. Threeya shiinta kharima says:
    19 Agustus 2011 pukul 02.16

    apatis akan terus ada kalau kita gk peduli dengan keadaan orang lain dan hanya memikirkan keadaawn kita sendiri alias EGOIS.

Posting Komentar