Belajar Keadilan dari Sepak Bola (Kontemplasi Pertandingan Barcelona VS Inter)
Belajar Keadilan dari Sepak Bola (Kontemplasi Pertandingan Barcelona VS Inter)
Oleh: Bobby Savero
Hingar bingar perbincangan mengenai partai semifinal Liga Champions Eropa, antara raksasa Barcelona dengan jago Italia Internazionale saat tulisan ini dibuat masih mengemuka. Partai terakhir yang meloloskan Inter ke final dianggap sebagian kalangan sebuah pertandingan yang menjemukan dan bahkan disebut sebagai sepak bola negatif. Apa pasal? Karena sebagaimana diketahui, Jose Mourinho, pelatih Inter meracik strategi bertahan ketat hampir di sepanjang pertandingan.
Dari semua pemain inter yang ada di lapangan, semuana mengambil fungsi sebagai pemain bertahan. Hasilnya, pertandingan selama 90 menit hanya berkutat di daerah pertahanan Inter saja.
Banyak orang menilai, pertandingan itu sebagai pertandingan yang menjemukan serta tidak menarik. Tapi buat saya, justru saya belajar beberapa hal dari pertandingan yang dilangsungkan di Camp Nou, stadion terbesar di daratan eropa itu.
Oh ya?
Ya! Saya belajar unsur-unsur keadilan yang muncul dari beberapa aspek pertandingan tersebut.
Pertama, Hasil pertandingan yang berakhir dengan kemenangan Barcelona 1-0 adalah sebuah keadilan. Mengapa? Tentu saja, bayangkan sebuah tim dengan permainan paling atraktif dan serangan terbaik dunia berhadapan dengan tim yang pada pertandingan itu mengusung ultra defensif football dan menampilkan super catenaccio yang bolehlah kita sebut sebagai pertahanan paling rapat di dunia. Maka hasil yang adil adalah tim yang menyerang berhasil mencetak gol dan tim yang bertahan berhasil menahan tim lawan sekuat mungkin untuk membuat banyak gol. Jelas, hasil 1-0 adalah representasi yang adil dari pertandingan dua filosofi bertanding di atas.
Kedua, pendukung Barca (sebutan lain Barcelona) telah melakukan beberapa hal yang menodai nilai sportivitas yang dijunung tinggi dalam
olahraga. Meraka melakukan teror fisik dan mencoba melakukan gangguan langsung kepada kubu Unter Milan (selengkapnya bisa dibaca di link ini: http://bola.okezone.com/read/2010/04/28/261/327107/mourinho-butuh-bodyguard-di-barcelona atau ini: http://bola.okezone.com/read/2010/04/29/261/327442/barca-tidak-fair atau bisa dicari di situs-situs berita lainnya). Nah, apal balasan untuk tindakan yang tidak jantan ini? Balasan yang sangat menyakitkan, yaitu tersingkirnya Barcelona dari ajang Liga Champions Eropa.
Ketiga, dalam pertandingan seorang pemain Inter diusir keluar oleh wasit. Pemain itu adalah Thiago Motta. Uniknya, sebelum pertandingan pemain kelahiran Sao Paulo ini mengatakan "Kami tidak akan bermain 'kotor'. Saya melihat permainan Barcelona di televisi dan pemain mereka sering melakukan diving,” ( Sumber: http://bola.okezone.com/read/2010/04/28/261/327131/pemain-barca-tukang-diving). Bisa jadi pernyataan ini adalah upaya untuk meningkatkan tensi pertandingandan memulai psy war belaka. Tapi apa yang terjadi? Mungkin hanya lelucon saja, tapi karena Motta melancarkan tuduhan yang entahlah berdasar atau tidak itu, kemudian pada pertandingan dia benar-benar mendapat kartu merah akibat aksi dari Sergio Busquets. Senjata makan tuan.
Mungkin tiga hal di atas hanya bahasan singkat saja, dan mungkin bagi para suporter bisa jadi tidak adil. Wajar saja, semua orang berhak memiliki pendapatnya masing-masing. Hanya saja, tentunya pelajaran keadilan ini bisa kita resapi agar kita lebih berhati-hati dalam bersikap dan berperilaku. Tiga hal di atas memberi bukti pada kita, bahwa apa yang kita lakukan pada akhirnya akan menghasilkan efek sektoral bagi kita sendiri. Pilihan strategi yang kita susun, akan berakibat pada hasil akhir peperangan yang kita hadapi. Tindakan tidak sportif yang kita lakukan bisa jadi akan menampar diri kita sendiri.
Masih banyak contoh sebenarnya yang bisa diambil, bahwa sikap dan perilaku kita akan memantul pada diri kita sendiri.
Seandainya pun tidak,
Tuhan sedang menyiapkan balasan atas perilaku kita. Maka tak ada ruginya, mulai hari ini, kita belajar untuk berkeadilan. Mencoba bersikap adil pada setiap momen. Menjadi hakim bagi diri kita sendiri, memilih hal yang satu untuk meminggirkan yang lain dan menentukan hal yang kita anggap adil. Kesemuanya adalah pekerjaan yudisial yang tampaknya sepele tapi memang terjadi di kehidupan sehari-hari.
Mampukah? Insya Allah!
Di kamar yang masih remang,
30 April 2010
06.44 WIB
"Sebelum berangkat ke kantor"
30 April 2010 pukul 02.26
apa itu kontemplasi?
30 April 2010 pukul 04.13
whew, bikin kayak gini ah.
bagus themes-nya. :)
Thanks bob.
10 Mei 2010 pukul 20.41
@faza:
kontemplasi itu renungan..
@I.B. Santoso:
hehe,,cuma ngopy doang..
tapi berat banget pak..