Cerpen dari istana..

Titik Balik

Malam meninggalkan dingin yang teramat sangat. Dia masih berdiri di tempat yang sama. Embun yang muncul bersamaan dengan lahirnya pagi melembabkan alas kakinya. Tapi ia tak peduli. Hanya kakinya yang gemetaran. Sudah berjam-jam ia di situ, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melompat sejengkal lagi dan menuntaskan apa yang direncanakannya, secara mendadak, setelah peristiwa itu. Peristiwa yang kini membawanya pergi puluhan kilometer dari hal-hal yang dicintainya. Peristiwa itu...

***

“Kami sudah melihat dan menilai betul kinerja anda selama delapan tahun terakhir. Anda bekerja sangat luar biasa. Punya visi yang jauh ke depan. Dan kemampuan aplikasi manajerial yang nyaris sempurna. Perusahaan ini patut berterima kasih kepada anda. Dan perusahaan ini masih membutuhkan anda. Tapi, kami juga melihat perusahaan ini harus menghargai kerja keras anda dengan memberi anda tantangan baru. Kantor cabang kita di Zimbabwe membutuhkan ide-ide brillian anda. Saya optimis anda akan berhasil mewujudkan apa yang kita raih di sini, di benua sana, dalam waktu singkat.”

Matanya kosong ketika kata-kata wakil direktur yang baru itu meluncur berapi-api, mencoba mencari penjelasan yang paling masuk akal dan halus untuk menjelaskan bahwa dirinya benar-benar sudah terpental jauh dari apa yang sudah diimpikannya selama bertahun-tahun.

Pikirannya kembali ke tempat yang sama, salah satu ruangan wakil direktur utama perusahaannya bekerja, akhir 1998. Keadaan nasional sedang krisis, Pak Hartomo sang wakil direktur sedang berbicara serius padanya.

“Anda tahu betul, negeri ini sedang goncang. Tapi anda juga dapat melihat, bahwa perusahaan kita baik-baik saja. Ide anda untuk memperlebar pasar dan membuka kantor perwakilan baru di Asia Selatan dan Afrika, dua tahun yang lalu adalah kuncinya. Sehingga saat cash flow dalam negeri goyah, emas-emas Afrika menyelamatkan perusahaan kita secara keseluruhan. Anda luar biasa! Sungguh luar biasa! Oleh karena itu, saya khawatir betul, ketika mendengar anda ditawari pekerjaan di perusahaan saingan kita. Saya tahu, manajer operasional secerdas anda tak akan ditawari gaji dan fasilitas rendahan. Anda juga tahu, bahwa kami akan sangat kehilangan anda. Tapi...Saya kira anda juga tahu, bahwa saya sudah tua. Tak lama lagi. Saya akan pensiun. Dan perusahaan ini akan mencari pengganti yang cerdas seperti anda. Saya yakin itu. Dengan bertahan beberapa tahun lagi, saya yakin anda akan segera menggantikan saya di kursi yang saya duduki sekarang. Bagaimana?”

Pertanyaan itu ia jawab dengan dedikasi penuh pada perusahaan. Seluruh perhatian ia curahkan. Workaholic mungkin kata yang lebih tepat. Hingga bahkan istri dan anak-anaknya, serta keluarganya tak tahan lagi. Ayah dan ibunya sudah tak pernah ia kunjungi sejak bekerja di ibu kota. Awal 2000, ia resmi menjadi duda dua anak. Anak-anaknya tak pernah ia temui lagi sejak ikut dengan istrinya yang menikah lagi dengan seorang diplomat yang ditempatkan di Moskwa. Di Jakarta yang keras, ia tinggal bergantung pada impiannya.

Dan hari itu semua impiannya hancur. Wakil direktur yang baru itu bukan dirinya. Pemuda tanpa pengalaman, dengan gelar PhD dari Illinois, yang baru saja berbicara dengannya itu adalah orang yang merebut impiannya. Ia pernah membayangkan bahwa impiannya dapat hancur. Tapi dalam bayangannya kekalahannya haruslah sangat ksatria. Ia hancur karena bukan ksatria tangguh yang mengalahkannya, tapi lulusan luar negeri tanpa pengalaman, yang juga keponakan direktur utama.

***

Matahari sudah menyembul sedikit. Kini bukan saja kakinya, tapi tangannya ikut gemetar. Ia masih juga belum berani maju. Arloji peraknya berembun. Tapi ia masih dapat mengetahui, bahwa ia telah berdiri sekitar empat jam. Ia tak ingat kapan ia terakhir kali berdiri selama itu, yang ia ingat adalah sebelum berdiri di ujung jurang itu, mobilnya ia pacu tanpa henti. Dari jalan kecil, jalan raya, jalan tikus, jalan tol, hingga jalan becek yang kemudian membawanya ke jurang ini. Jurang yang tadinya hendak ia jadikan saksi bisu tarikan nafasnya yang terakhir. Namun, ia belum juga melompat.

Tiba-tiba, terdengar suara memanggilnya. Ia sempat berbalik sesaat, dan melihat sosok pemuda dengan topi petani lebar berlari ke arahnya.

Kang, akang! Rek naon diditu?”

Ia sekonyong-konyong terjatuh pingsan dan tak mendengar lagi teriakan petani itu. Entah karena kelelahan, keterkejutan, ketakutan, atau justru kelegaan.

***

Matahari sudah nyaris terbenam ketika ia terbangun. Ia mendapati dirinya dalam sebuah kamar tidur kecil dan telah berganti pakaian. Ia ditidurkan pada dipan yang cukup nyaman, dengan selimut tebal. Tak lama, petani yang sudah melepaskan topi capingnya itu masuk.

“Alhamdulillah, akang teh sudah sadar. Saya sangat khawatir. Di kampung ini tidak ada dokter, yang ada hanya mantri. Jadi saya hanya bisa rawat akang di kamar saya. Tadi aya tetangga nganter ubi rebus . Hayu atuh dicoba dulu. Tehnya juga masih panas. Mudah-mudahan si akang cepet seger. Saya teh bingung. Arek naon si akang teh di jurang itu. Bahaya kang. Upami jatuh, akang teh bisa mati.”

“Mungkin saya memang ingin mati..”

Kata-katanya yang datar dan bernuansa keputusasaan itu membuat terkejut pemuda yang menolongnya. Dan kata-kata itulah yang mengantarnya pada suatu obrolan panjang dengan petani yang tidak ia kenal di kampung yang tidak ia kenal pula. Sebuah obrolan mengenai keikhlasan dan kesabaran. Sebuah obrolan sederhana mengenai hidup.

***

Ia mengendarai mobil dengan perasaan yang lain. Perasaan kagum. Ia tak habis pikir bagaimana pemuda yatim piatu yang setengah tangannya buntung dapat tetap survive di dunia yang kadang sangat kejam. Sendirian dengan keterbatasan tak membuatnya menyerah. Bahkan masih tetap sabar bekerja keras menjadi buruh tani. Apa yang ia lihat sebagai kehancuran, ternyata bisa dilalui dengan mudah saja oleh pemuda tersebut. Keikhlasan dan kesabaran masih perlu ia pelajari, tapi darimana sumbernya ia belum juga dapat mengerti dan masih akan jadi pertanyaan besar. Tapi yang terpenting ia telah menemui semangatnya. Dan besok ia akan kembali ke sana untuk mengucapkan terima kasih sekali lagi.

***

Sudah hampir setahun sejak terakhir ia mengunjungi pemuda itu untuk mengucapkan terima kasih. Pemuda tersebut dan beberapa warga sangat antusias ketika ia meninggalkan sebuah televisi dan tak lupa penangkap siaran digital untuk menyiasati terpencilnya kampung itu. Harga televisi itu tak seberapa dibandingkan dengan pelajaran dan kesempatan hidup kedua yang didapatkannya. Ia sudah dapat mulai menata ulang hidupnya. Kini membuka kantornya kecilnya sendiri. Sering berkunjung ke rumah orang tuanya untuk membayar kesalahannya yang lampau. Tak lupa ia juga telah membina kembali hubungan baik dengan anak-anaknya, walau hanya dengan sambungan udara. Bahkan, kini ia sudah memiliki calon istri yang sangat menyayanginya. Banyak hal telah berubah sejak kunjungan terakhir yang menjadi titik balik kehidupannya itu.

Maka dengan perasaan dan langkah yang jauh lebih lapang, ia mengendarai mobilnya untuk sekedar mengetahui kabar si pemuda itu. Kali ini, calon istrinya menemani dengan penuh kesabaran di sisinya ketika ia melajukan mobil. Tak lagi sendirian dengan pikiran kusut dan keinginan mengakhiri hidup.

Kampung itu masih terlihat sama. Juga rumah pemuda petani itu. Tapi alangkah terkejutnya ia, ketika melihat televisi pemberiannya dianggurkan begitu saja di samping rumah. Disejajarkan dengan jerami-jerami kering dan kandang kambing. Dengan heran ia berjalan memasuki rumah kemudian menemukan pemuda itu baru saja selesai mengaji. Pemuda itu langsung menyapanya dengan ceria.

Eh, akang, apa kabar? Akang teh gemuk sekarang..”

Berat badannya memang telah naik beberapa kilo, tapi itu bukan subjek yang penting saat ini, “Ada apa dengan televisi itu? Rusakkah? Atau kampung ini sudah tidak dialiri listrik lagi? Atau..”

“Oh, televisi itu.” Pemuda itu mulai mengerti wajah keheranannya, “Punten ya kang, saya tidak bisa lagi menghidupkan televisi itu di kampung ini, dan membiarkan tetangga-tetangga terus menonton televisi itu. Maaf ya kang..”

“Ada apa? Apa kamu tidak menghargai pemberian saya? Saya tulus, sungguh. Jika perlu, jika memang masalah biaya, saya akan menanggung biaya listriknya. Atau saya perlu belikan semua tetangga-tetangga kamu televisi, agar kamu tidak merasa terganggu? Katakan saja..”

Pemuda itu tersenyum, “Kang, punten, ieu teh bukan masalah uang. Apalagi masalah terganggu. Saya hanya takut kang. Hayu atuh duduk heula, biar saya jelaskan.”

Mereka lalu duduk berhadapan sambil bersila di atas tikar.

“Begini, kang. Awalnya teh, saya senang dengan adanya televisi itu. Anak-anak di sini jadi punya hiburan. Dan orang-orang tuanya jadi banyak dapat ilmu dari berita-berita di televisi. Tapi kemudian saya khawatir, anak-anak di sini mulai malas dan melawan orang tuanya. Malas disuruh mengaji, hanya karena ingin menonton film kartun spons warna koneng.”

Pemuda itu terbatuk sedikit, lalu meneruskan, “Tapi, tadinya saya biarkan. Saya pikir, biarlah anak-anak menikmati hiburan dan masa kecilnya. Nah, kemudian saya mulai kaget. Di berita teh banyak berita tidak enak. Pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, perampokan. Ih, ngeri pisan. Saya takut warga-warga di sini jadi ikut-ikutan. Dan yang paling saya takuti, waktu saya dan teman-teman menonton berita tentang gempa, penggusuran, bencana lumpur, hingga pembunuh yang cepat-cepat dibebaskan dari penjara. Besoknya saya banting saja televisi itu. Saya takut teman-teman mulai menanyakan keadilan Tuhan. Dan meragukan kekuasaanNya. Kalau saya sih, tetap yakin bahwa Tuhan punya caraNya tersendiri. Nah, yang saya takut mah teman-teman saya tidak. Bagaimana jika mereka mulai ragu bahwa keadilan Tuhan itu ada? Bagaimana jika mereka meragukan Tuhan? Naudzubillah, kang! Karena hanya dengan keyakinan yang kuat terhadap Tuhan itulah, kita masih bisa ikhlas jeung sabar. Maaf ya kang, biarlah saya ganti saja uang beli televisi yang saya banting itu.”

Ia tersentak. Kini semua pertanyaan telah terjawab. Sebuah titik balik, sekali lagi.

Bobby Savero

Istana Mimpi Ciawi, 31 Oktober 2006

01:33

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Cerpen dari istana.."

Posting Komentar