Yang lucu soal NPWP

Sebuah sinergi apik telah dimulai dalam pemerintahan kita. Komisi Pemilihan Umum (KPU), akhirnya mengakomodasi permintaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mensyaratkan kepemilikan (Nomor Pokok Wajib Pajak) NPWP oleh para donatur kampanye dengan jumlah sumbangan di atas 20 juta rupiah untuk Pemilu 2009 mendatang. Hal ini jelas adalah suatu hal yang melegakan. Dengan demikian, kita dapat menguji dan memastikan, apakah pihak-pihak yang telah bermurah hati dengan menyumbang sedemikian besarnya untuk kampanye politik telah terlebih dahulu menyelesaikan kewajibannya sebagai warga negara.
Oleh karena itu, lucu rasanya jika membaca komentar-komentar tokoh-tokoh politik caliber, seperti Ferry Mursyidan BAldan dan MS. Kaban, yang menolak kewajiban pencantuman NPWP tersebut di media. Sebagaimana dilansir Koran Tempo dan Detik.com pada tanggal 28 dan 29 November 2008, mereka menyesalkan keputusan KPU yang dirasa melanggar UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Menurut mereka, UU hanya melarang partai menerima donasi dari sumber yang tidak jelas identitasnya. Kepemilikan NPWP seharusnya hanya menjadi tools dalam memperjelas identitas, bukan diwajibkan karena akan menyulitkan penyumbang. Aturan mengenai NPWP mereka anggap juga telah diatur dalam UU lain. Mereka juga bahkan menantang Dirjen Pajak dengan melontarkan pernyataan, “Apa Dirjen Pajak menjamin semua penyumbang mempunyai NPWP?” (Koran Tempo 28/11) juga “Apa anggota DPR semua sudah punya NPWP? Apa pejabat-pejabat eselon satu dan dua di Indonesia sudah mempunyai NPWP? Itu dulu deh.” (Detik.com 29/11)
Mengapa saya sebut lucu? Pertama, keputusan KPU tersebut, justru adalah terobosan yang sangat brilian. Kerjasama antara KPU dan DJP akan mengakomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat. Di satu sisi, KPU akan mendapatkan partner kerja untuk menguji apakah kesahihan identitas penyumbang, terutama penyumbang kelas kakap, adalah benar adanya. DJP tentunya memiliki sistem informasi yang terintegrasi untuk mengetahui hal itu. Di sisi lain, DJP juga akan mendapatkan sumber informasi yang terpercaya untuk memastikan, bahwa pihak-pihak yang sudah menggelontorkan uang banyak untuk dana kampanye telah pula menyelesaikan kewajibannya sebagai warga negara Republik Indonesia. Aturan ini jelas tidak melanggar aturan UU No. 10 Tahun 2008 akan tetapi justru mensinergikan UU ini dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Harmoni regulasi ini adalah yang saya anggap brilian, karena selama ini, negara kita memiliki masalah dengan legal drafting sehingga banyak aturan yang justru tumpang tindih.
Kedua, sangat lucu bahwa tokoh politik yang juga pejabat negara justru menantang DJP mengenai jaminan kepemilikan NPWP oleh para penyumbang dan pejabat negara. Selaku masyarakat apalagi pejabat negara, selayaknya kita mengetahui betul bahwa kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP adalah wajib bagi warga negara yang telah memiliki penghasilan di atas ambang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Direktorat Jenderal Pajak yang bertugas untuk mengadministrasikan dan melayani masyarakat untuk mendapatkan NPWP. Dan seperti kita ketahui, secara ekspansif DJP telah mengeluarkan aturan, promosi untuk menggerakan masyarakat yang telah memenuhi persyaratan objektif dan subjektif secara sadar mendaftarkan dirinya. Jelaslah, bahwa kepemilikan NPWP adalah kewajiban bagi warga negara yang telah memenuhi syarat. Aturan KPU ini, nantinya juga akan membantu menyadarkan masyarakat akan pentingya NPWP.
Ketiga, juga sangatlah lucu jika dikatakan bahwa pencantuman NPWP bagi donatur kampanye akan mempersulit para penyumbang. Sekarang kita balik. Apanya yang sulit? Jika telah mampu menyumbang sedemikian besar, apakah melaksanakan kewajiban perpajakan sebagai warga negara dikatakan sulit? Jika yang dikhawatirkan adalah kesultan mengurus NPWP, sejauh yang saya ketahui, pembuatan NPWP adalah salah satu layanan unggulan DJP. DJP menjamin pembuatan NPWP dalam waktu yang sangat singkat maksimal 1 x 24 jam, melalui kantor pelayanan pajak yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, pendaftaran secara online via internet, melalui mobil pajak, atau pojok pajak yang tersebar di berbagai pusat keramaian. Dan pengurusan ini semua tanpa biaya. Mari kita tanya sekali lagi, apa yang sulit? Oleh karena itu, teranglah sudah bahwa keputusan KPU ini adalah hal yang patut didukung. Selain memastikan sumber dana penyumbang, menangkal praktik pencucian uang, sekaligus mensukseskan program-program pro rakyat untuk kesejahteraan yang sebagian besar didanai dari dana mandiri masyarakat via kewajiban perpajakan. Sekiranya para public figure, lebih berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan pada konstituen dan masyarakat pada umumnya agar tidak malah menyesatkan yang menimbulkan paranoia tak perlu terhadap NPWP, Direktorat Jenderal Pajak dan Departemen Keuangan yang harus kita akui telah menunjukkan komitmen bear untuk reformasi birokrasi. Mari kita dukung, segala upaya untuk membawa negeri ini ke arah yang lebih baik.

Ciawi, 30 November 2008
Suasana hujan yang dingin yang tak kan menyurutkan menyuarakan kebenaran...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS