“Siapa bilang sekarang tahun 2008?”

“Siapa bilang sekarang tahun 2008?”

Oleh :

Bobby Savero*

Namanya Sukayat. Setahu saya, dulunya ia gagah. Maklum mantan aktivis. Badannya tegap. Bicaranya ceplas-ceplos, tapi bukan asal bicara. Gelar pada namanya “baru” sarjana hukum, belum master, boro-boro doktor. Tapi siapa yang meragukan mantan dosen saya semasa kuliah itu. Usianya sudah cukup tua, lebih dari setengah abad. Namun gerakannya masih enerjik. Selain pembahasan kuliahnya yang to the point, jelas, tak bertele-tele, yang paling saya ingat, dia tak pernah memberi jarak pergaulannya dengan kami. Padahal, kalau mau main senior-senioran, sepertinya kami harus memanggil beliau opa. Eh, dengan cueknya dia malah ber-“gue-elu.”

Kelebihan lain Pak Kayat (biasa ia dipanggil), jarak yang jauh antara pandangan, pendapat dan pemikiran antara kaum tua dan kaum muda, yang sejak zaman dahulu sudah ada (saat Bung Karno diculik ke rengasdengklok semasa menjelang proklamasi lebih kurang karena adanya gap golongan tua dan muda, kan?) serasa tidak ada. Di hadapannya kami serasa kawan. Pikiran beliau terbuka, sehingga ilmunya, ditambah dengan diskusi bersama dengan kami, ditambah dengan nasehatnya yang tidak menceramahi membuat suasana kuliah hukum saat itu begitu nyaman dikenang.

Kini Pak Kayat sedang terbaring sakit. Stroke ringan. Pria yang konon juga kenal baik dengan pengacara ternama yang kini anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution itu kini seperti tidak sedang berada dalam dirinya. Itu kata SMS yang saya terima. Lebih lanjut si SMS juga memberitahu sekilas, Pak Kayat juga terpengaruhi ingatannya. Ah, mudah-mudahan saja tidak benar. Kalaupun benar, semoga bukanlah gejala permanen. Saya takut.

Saya hanya takut belum dapat lagi menemui sosok dari kalangan tua yang berpikiran terbuka, yang membuat kami yang masih muda menaruh hormat tanpa dipaksa. Yah, wakil dari golongan tua yang sangat berpendidikan. Walau “Cuma” S1, tapi rasanya tak pernah sekalipun ia “baku hantam” sebagaimana para master atau doktor pengamat ,yang katanya intelek, di luar sana yang hanya bisa ribut soal kebijakan, tapi belum tentu becus menjalankan.

Saya hanya takut. Tak bisa lagi berbincang gurau dengan seorang tua, yang dapat saya jadikan tempat mengadu, mengenai kawan-kawan saya para pemuda di luar sana, yang dengan semangat 45 membakar ban sambil berdemonstrasi. Katanya menentang kenaikan dan pemborosan BBM. (Padahal rasanya bakar ban pakai minyak tanah juga pemborosan…entahlah).

Saya juga takut. Tak dapat pula berkeluh kesah dengan orang bijak dari kalangan tua, yang dapat saya jadikan tempat bercerita, ketika saya menemui orang tua lainnya, atau bapak-bapak, atau ibu-ibu, atau siapapun yang tiba-tiba menjadi pikun.

Pikun? Ya, pikun..Seperti percakapan yang melibatkan seorang bapak tua yang mungkin pikun dan pemuda yang merasa tidak pikun ini:

Pak tua pikun : “Nak, sekarang tanggal berapa ya?”

Pemuda tidak pikun : “Oh, tanggal 25 Mei 2008 pak, hari ahad tepatnya.”

Pak tua pikun : “Ah tak mungkin itu, kemarin kan masih tahun 60-an, mosok

sudah tahun 2000an, ya jangan ngelantur, Nak. Kamu kira,

bapak sudah ringkih begini mudah saja kau tipu.”

Pemuda tidak pikun : “Loh, betul pak. Buat apa saya bohong. Lihat pak, dunia sudah

begitu modern. Ini era millennium. Lihat, gedung-gedung bertingkat, mobil-mobil canggih, komputer portable, ponsel yang bisa motret. Ini tak mungkin tahun 60an, pak!”

Pak tua pikun : “Ah, apalagi itu Cuma omong kosong saja. Apa kau tidak lihat,

bukankah matamu masih awas, tak seperti aku ini. Coba lihat, di belakang gedung bertingkat masih banyak gubuk gelandangan, nilai uang rendah, harga minyak malah mahal, pekerjaan sulit dicari, kekerasan dan cara-cara represif masih digunakan, kriminalitas dimana-mana apa ini tahun 2000an. Malah aku takut, ini bukan pula tahun 60an, ini masih zaman primitif!”

Pemuda tidak pikun : “Tapi pak…”

Pak tua pikun : “Tunggu dulu. Lalu masa iya, jika sekarang tahun 2008?

Indonesia masih miskin-miskin juga. Ya wong saya veteran. Saya tahu betul, sejak tahun 1945 Indonesia sedang berbangkit mejadi bangsa yang maju, besar kaya, gemah ripah loh jinawi. Bangsa merdeka yang berdikari dan mensejahterakan Ya kan?”

Pemuda tidak pikun : (diam. Bukan karena tidak ada dialog, tapi tak mampu menjawab)

Nah itulah. Bagaimana dan kemana saya akan bercerita jika tidak pada orang-orang tua yang Ing Madya Mangun Karsa, Ing Ngarsa Sung Tulada, Tut Wuri Handayani seperti Pak Kayat itu? Apa peduli “orang-orang pikun” soal angka-angka APBN, beban subsidi, atau eskalasi harga minyak? Bagaimana pula saya menjelaskan dengan bahasa sederhana kebijakan pemerintah menaikan harga BBM yang katanya tidak pro rakyat ini. Saya mulai kehabisan tokoh bijaksana untuk memahami kerumitan masalah negeri ini, berdiskusi, memahami, lalu mencari solusi (bukan hanya demonstrasi).

Ah, Pak Kayat..

Maaf pak, saya hanya takut…

26 Mei 2008

*Pemuda belum pikun yang takut pikun mendadak karena tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana, Siapa bilang sekarang tahun 2008?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Alhamdulillah...
Akhirnya bisa ngisi blog ini lagi..
Sebenernya pengen ruitn nulis disini,,
yah sekedar self-actualization...
Tapi ada aja yang ngalangin, (atau emang dasarnya males ya?he2..)
Yaudah deh, sebagai awalan, langsung si penulis gadungan masukin 9 posts,,
hasil ngoprek2 komputer buat nyari tulisan yang masih layak buat di-posts,,
mudah2an, setelah ini bakal banyak tulisan-tulisan baru lainnya... Amien..

Oya, mungkin dari kalangan pembaca (halah, yakin amat ada yang baca, hi2),
ada yang menyadari kalau ada yang berbeda di blog ini..


Yap betul!
Sekarang gue make nama lain, Penulis Gadungan...
Kenapa?
Ya abis, dari dulu ngaku2 penulis tapi kok gak produktif. Tapi, ya masih ndak rela kalo melepas sama sekali cap penulis dalam hati. Jadi, biar ga dosa2 amat, gue pake nama penulis gadungan ajah...
Ya kalo ga produktif, namanya juga penulis gadungan!!Hahahaha...


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

TAKDIR

Takdir

Salah seorang kawan suatu hari melontarkan wacana takdir ke dalam percakapan. Dengan kelembutan yang khas, ia menyatakan percaya bahwa setiap hal yang terjadi dalam dimensi segala, diperinci langsung oleh Tuhan. Manusia hanya menjalankan saja dan menerima skenario Sang Maha Suci. Otoritas manusia nyaris tiada artinya.

Begitu kecilkah manusia? Bagaimanakah posisi manusia selayaknya saat memandang takdir? Bagaimana dengan kehendak bebas dan kekuasaan manusia untuk memilih hidup? Bagaimana dengan usaha-usaha untuk merubah nasib?

Pertanyaan yang begitu deras itu kemudian tertabrak ketakutan terjebak dalam sesat pikir. Seorang kawan lain sembari berkelakar mengingatkan, “Hati-hati, banyak orang menjadi atheis karena mempersoalkan takdir.”

Tetapi, rasanya menjadi pasif dan manut saja pada semua yang disodorkan tidak sesuai dengan tujuan Tuhan memberi manusia akal, pikiran, dan nurani. Seandainya Galileo Galilei dulu termasuk tipikal orang yang nrimo, mungkin sampai saat ini kita percaya saja dengan konsep geosentris. Tuhan mau kita belajar, dan menabrak batas-batas ketakutan itu. Menabrak pula transedensi keraguan itu.

Filsuf Inggris Francis Bacon (1561-1626) memberi inspirasi, “Bila manusia mulai dengan kepastian ia akan berakhir dalam keraguan. Tetapi bila ia puas untuk mulai dengan keraguan, ia akan berakhir dengan kepastian.” Kita pilih saja jalan untuk berakhir dalam keyakinan atas kepastian walau dimulai dengan pijakan keraguan. Daripada mejadi seperti filsuf abad ke delapan belas, Edmund Burke, yang ketakutan dengan ide-ide pembelajaran dan mengatakan belajar hanya akan dilemparkan ke dalam lumpur dan diinjak seperti babi. Rasanya yang menjadi lumpur dan terinjak babi, kini, adalah dirinya sendiri.

Masalahnya, takdir memang objek yang absurd. Tak ada data ilmiah dan verifikasi kasat mata atas objek ini. Ini yang menjadikan diskusi mengenai takdir adalah jembatan menuju sebuah kembatan tipis yang menghubungkan antara logika dan keyakinan. Dari sini kita dapat berangkat melalui pilihan. Kita dapat mempercayai konsep bahwa nasib kita sendiri yang menentukan atau ditentukan secara permanen sejak awal dalam proses penciptaan. Beberapa kepercayaan dapat berpolar pada dua kubu ini. Dalil mereka saling menguatkan dan melemahkan.

Seorang apatis dapat saja kemudian menerima penuh bahwa kita adalah “boneka Tuhan” dalam skenarioNya. Tak ada pilihan lain. Lalu untuk apa otak kita diciptakan? Para pemalas akan diam saja dan kemudioan menjadikan takdir sebagai justifikasi penderitaan yang telah dan mereka hadapi. Sebagaimana John Oliver Hobbes, “Men heap together the mistakes of their lives and create a monster they call destiny.” Toh penghuni surga dan neraka telah ditentukan sebelumnya.

Yang menarik kemudian, Daud Ibrahim Al-Shawni dalam semi-fiksi kontroversialnya, Iblis Menggugat Tuhan, secara tegas menyatakan, “Jika ada pengampunan, maka bukan tak mungkin memang kehendak bebas itu ada.” Selain itu, jika memang kehendak bebas itu tak ada, kasihan juga malaikat-malaikat pencatat amal yang mengerjakan sesuatu yang hasilnya sudah ditentukan sebelumya.

Lalu? Sulit memang berdebat dalam koridor keyakinan, karena tumbukannya hanya memiliki kekuatan “saya benar.” Kecuali jika kita cukup arif untuk melihat kesempurnaan makhluk. Kesempurnaan penciptaan. Anatomi tubuh kita saja misalnya, bagaimana setiap bagian tanpa dapat direncanakan manusia dapat bekerja dengan tujuan masing-masing yang menjadi simfoni indah manusia, yaitu hidup itu sendiri. Dalam hal ini, bolehlah kita senada dengan pakar psikoanalisis Sigmund Freud yang dituding tak ilmiah, bahwa “Anatomy is destiny.” Dalam hal-hal seperti ini logika memang berkompromi, ada kekuasaan yang mengatur detil bagian hidup manusia. Kita tak dapat memilih anatomi sendiri bukan?

Tapi, hal itu tidak dengan sendirinya meletakkan kita untuk menyerah pada takdir. Tuhan memberi kita petunjuk melalui kitab suciNya agar kita dapat membedakan mana yang benar dan salah. Ada konsep pilihan di sana. Tuhan memberkahi para pekerja keras dengan kejayaan dan para pemalas kemiskinan. Menjadi kaya dan miskin kemudian menjadi pilihan. Indeks Prestasi dalam kuliah, contohnya, baik atau tidak juga dipengaruhi sejauh mana kita berusaha. Maka hidup menjadi pilihan.

Kontradiksi antara takdir yang telah diplot dan takdir yang kita pilih sendiri memang akan membawa dilema besar. Tapi, kita ambil sederhananya saja. Kembali ke konsep orang-orang tua. Mati, lahir, jodoh di tangan Tuhan. Tapi percayalah Tuhan bukan diktator, ia memberi kita petunjuk bukan doktrin belaka. Membuat kita dapat menentukan nasib seperti apa yang ingin kita terima. Tuhan memnerikan kepastian dan juga memberikan pilihan. Pilihan-pilihan itulah areal di mana manusia bebas berkehendak. Kebebasan yang tidak mengurangi kekuasaan tuhan sedikit pun, karena kebebasan dan konsekuensi atas pilihan itu sendiri, itulah takdir yang sebenarnya.

(Diterbitkan dalam Majalah Civitas Edisi 1 Tahun 2007)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

TAKDIR

Takdir

Salah seorang kawan suatu hari melontarkan wacana takdir ke dalam percakapan. Dengan kelembutan yang khas, ia menyatakan percaya bahwa setiap hal yang terjadi dalam dimensi segala, diperinci langsung oleh Tuhan. Manusia hanya menjalankan saja dan menerima skenario Sang Maha Suci. Otoritas manusia nyaris tiada artinya.

Begitu kecilkah manusia? Bagaimanakah posisi manusia selayaknya saat memandang takdir? Bagaimana dengan kehendak bebas dan kekuasaan manusia untuk memilih hidup? Bagaimana dengan usaha-usaha untuk merubah nasib?

Pertanyaan yang begitu deras itu kemudian tertabrak ketakutan terjebak dalam sesat pikir. Seorang kawan lain sembari berkelakar mengingatkan, “Hati-hati, banyak orang menjadi atheis karena mempersoalkan takdir.”

Tetapi, rasanya menjadi pasif dan manut saja pada semua yang disodorkan tidak sesuai dengan tujuan Tuhan memberi manusia akal, pikiran, dan nurani. Seandainya Galileo Galilei dulu termasuk tipikal orang yang nrimo, mungkin sampai saat ini kita percaya saja dengan konsep geosentris. Tuhan mau kita belajar, dan menabrak batas-batas ketakutan itu. Menabrak pula transedensi keraguan itu.

Filsuf Inggris Francis Bacon (1561-1626) memberi inspirasi, “Bila manusia mulai dengan kepastian ia akan berakhir dalam keraguan. Tetapi bila ia puas untuk mulai dengan keraguan, ia akan berakhir dengan kepastian.” Kita pilih saja jalan untuk berakhir dalam keyakinan atas kepastian walau dimulai dengan pijakan keraguan. Daripada mejadi seperti filsuf abad ke delapan belas, Edmund Burke, yang ketakutan dengan ide-ide pembelajaran dan mengatakan belajar hanya akan dilemparkan ke dalam lumpur dan diinjak seperti babi. Rasanya yang menjadi lumpur dan terinjak babi, kini, adalah dirinya sendiri.

Masalahnya, takdir memang objek yang absurd. Tak ada data ilmiah dan verifikasi kasat mata atas objek ini. Ini yang menjadikan diskusi mengenai takdir adalah jembatan menuju sebuah kembatan tipis yang menghubungkan antara logika dan keyakinan. Dari sini kita dapat berangkat melalui pilihan. Kita dapat mempercayai konsep bahwa nasib kita sendiri yang menentukan atau ditentukan secara permanen sejak awal dalam proses penciptaan. Beberapa kepercayaan dapat berpolar pada dua kubu ini. Dalil mereka saling menguatkan dan melemahkan.

Seorang apatis dapat saja kemudian menerima penuh bahwa kita adalah “boneka Tuhan” dalam skenarioNya. Tak ada pilihan lain. Lalu untuk apa otak kita diciptakan? Para pemalas akan diam saja dan kemudioan menjadikan takdir sebagai justifikasi penderitaan yang telah dan mereka hadapi. Sebagaimana John Oliver Hobbes, “Men heap together the mistakes of their lives and create a monster they call destiny.” Toh penghuni surga dan neraka telah ditentukan sebelumnya.

Yang menarik kemudian, Daud Ibrahim Al-Shawni dalam semi-fiksi kontroversialnya, Iblis Menggugat Tuhan, secara tegas menyatakan, “Jika ada pengampunan, maka bukan tak mungkin memang kehendak bebas itu ada.” Selain itu, jika memang kehendak bebas itu tak ada, kasihan juga malaikat-malaikat pencatat amal yang mengerjakan sesuatu yang hasilnya sudah ditentukan sebelumya.

Lalu? Sulit memang berdebat dalam koridor keyakinan, karena tumbukannya hanya memiliki kekuatan “saya benar.” Kecuali jika kita cukup arif untuk melihat kesempurnaan makhluk. Kesempurnaan penciptaan. Anatomi tubuh kita saja misalnya, bagaimana setiap bagian tanpa dapat direncanakan manusia dapat bekerja dengan tujuan masing-masing yang menjadi simfoni indah manusia, yaitu hidup itu sendiri. Dalam hal ini, bolehlah kita senada dengan pakar psikoanalisis Sigmund Freud yang dituding tak ilmiah, bahwa “Anatomy is destiny.” Dalam hal-hal seperti ini logika memang berkompromi, ada kekuasaan yang mengatur detil bagian hidup manusia. Kita tak dapat memilih anatomi sendiri bukan?

Tapi, hal itu tidak dengan sendirinya meletakkan kita untuk menyerah pada takdir. Tuhan memberi kita petunjuk melalui kitab suciNya agar kita dapat membedakan mana yang benar dan salah. Ada konsep pilihan di sana. Tuhan memberkahi para pekerja keras dengan kejayaan dan para pemalas kemiskinan. Menjadi kaya dan miskin kemudian menjadi pilihan. Indeks Prestasi dalam kuliah, contohnya, baik atau tidak juga dipengaruhi sejauh mana kita berusaha. Maka hidup menjadi pilihan.

Kontradiksi antara takdir yang telah diplot dan takdir yang kita pilih sendiri memang akan membawa dilema besar. Tapi, kita ambil sederhananya saja. Kembali ke konsep orang-orang tua. Mati, lahir, jodoh di tangan Tuhan. Tapi percayalah Tuhan bukan diktator, ia memberi kita petunjuk bukan doktrin belaka. Membuat kita dapat menentukan nasib seperti apa yang ingin kita terima. Tuhan memnerikan kepastian dan juga memberikan pilihan. Pilihan-pilihan itulah areal di mana manusia bebas berkehendak. Kebebasan yang tidak mengurangi kekuasaan tuhan sedikit pun, karena kebebasan dan konsekuensi atas pilihan itu sendiri, itulah takdir yang sebenarnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Ketika mengkaji apatisme dalam kampus

Ketika mengkaji apatisme dalam kampus, penulis memiliki preferensi untuk mencari terlebih dahulu definisi pasti dari kata apatisme, agar pembahasannya lebih tepat dan terstruktur. Apatisme adalah kata serapan dari Bahasa Inggris, yaitu apathy. Kata tersebut diadaptasi dari Bahasa Yunani, yaitu apathes yang secara harfiah berarti tanpa perasaan. Sedangkan menurut AS Hornby dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, apathy is an absence of simpathy or interest.

Dari definisi-definisi di atas, maka dapat ditarik satu benang merah definisi apatisme, yaitu hilangnya simpati, ketertarikan, dan antusiasme terhadap suatu objek. Selanjutnya ketika kita menghubungkannya dengan apatisme dalam kampus, secara lebih sempit lagi, apatisme memilih kepemimpinan sebagai objeknya, maka kita mulai memperoleh bayangan.

Sudah sejak lama apatisme menjadi momok bagi kepemimpinan dan pemerintahan. Apabila kita ingin mencari data mengenai apatisme maka ada puluhan hingga ratusan contoh. Dari perkembangan politik dunia ketiga hingga negara-negara maju. Kebanyakan memang ada dalam lingkup politik. Semuanya menjadi pengalaman besar bagi kita untuk mengkaji dan menghadapi kasus apatisme dalam kampus.

Akan tetapi, menurut hemat saya, ketika ingin mencari akar dan pemecahan masalah maka semua pihak harus rela membuka lebar-lebar pemikirannya, menghilangkan justifikasi sempit, dan memulai pandangan yang permisif. Saya setuju dengan apa yang dicetuskan oleh Immanuel Kant, seorang filsuf dan pencetus teori negara hukum murni, dalam karyanya Critique of Pure Reason. Ia menelurkan konsep bahwa pengetahuan berasal dari apriori (penalaran) dan aposteriori (pengalaman). Nah, dengan dasar nalar dan pengalaman itulah saya yakin baru kita dapat memperoleh obat atas penyakit kronis apatisme.

Mengapa ada apatisme? Darimana apatisme bermula? Tidak perlu repot mencari jawabannya, karena sebenarnya kita mengetahuinya secara nyata. Florynce R. Kennedy, seorang pengacara dan aktivis sosial asal Amerika Serikat dalam bukunya Color me flo: My Hard Life and Good Times mengatakan: “If you want to know where the apathy is, you’re probably sitting on it.” Setiap orang mungkin dapat berpikir buruk dan tertawa kecut terhadap kekonyolan apatisme, tapi terkadang mereka tak menyadari bahwa mereke sendiri sebenarnya sedang menduduki benih-benih apatisme dan mengembangkannya.

Lompatan dari apa yang dilihat dan ketidakpuasan, menuju kritik tanpa perbaikan dan solusi juga bentuk dari apatisme. Itulah yang harusnya membuat setiap unsur pemimpin di mana saja, termasuk dalam kampus, menjadi mawas diri. Tentu saja kehilangan perasaan, perhatian, ketertarikan, dan antusiasme terhadap suatu objek, dalam hal ini kepemimpinan, maka ada beberapa kemungkinan akar permasalahan.

Pertama, bisa saja kepemimpinan telah menjelma menjadi kekuatan yang lalim dan cenderung diktator sehingga apapun yang dilakukan oleh masyarakat yang dipimpinnya sama sekali tidak diperhitungkan dan dianggap tidak memberi kontribusi. Sehingga arah kepemimpinan hanya akan mengikuti kehendak satu orang, pihak, atau golongan belaka. Hal ini tentunya akan mengunci semangat masyarakat untuk memberikan suara dan kontribusi dalam kehidupan sosial dan politik dalam kotak stagnansi, karena telah terdoktrin dalam pemikiran setiap orang bahwa pun mereka menelurkan kontribusi dan melaksanakan hak suara toh akan berujung pada kenihilan semata.

Kedua, kepemimpinan mungkin saja telah menjadi buta dan tuli terhadap kepentingan dan keinginan publik yang sebenarnya. Banyak pemimpin yang menilai diri mereka terlalu tinggi sehingga mereka merasa mengetahui benar apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat yang dipimpinnya, sehingga mereka menganggap apa yang ada di kepala mereka yang bergulir sebagai program mereka adalah upaya terbaik untuk memenuhi kebutuhan.

Hal ini sebenarnya dapat dianalogikan sebagai diagnosa dokter. Dokter dapat memahami penyakit, memberi diagnosa, kemudian mencarikan obat tidak hanya berdasar pada asumsi dan pemikirannya. Tapi ia juga harus proaktif mendengar, menampung, dan mengolah secara utuh keluhan-keluhan sang pasien beserta dengan data dan fakta medis yang ada. Sepanjang pengetahuan penulis, hanya dokter hewan yang tidak memerlukan keluhan-keluhan dari pasiennya. Dan saya yakin, para pemimpin tahu dan dapat membedakan masyarakatnya dengan hewan!

Ketiga, apatisme yang menyeruak bisa saja karena masyarakat merasa bahwa para pemimpin beserta dengan organisasinya dirasakan oleh masyarakat tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kehidupan mereka. Siapa saja dan apa saja yang para pemimpin lakukan terpaksa dimasa-bodohkan.

Sebagai contoh, di kampus kita, Media Center STAN pernah mengangkat artikel mengenai mahasiswa yang sudah bertahun-tahun tidak pernah menggunakan hak pilihnya, karena dia menganggap tidak ada pengaruhnya eksekutif dalam dunia kampus dan bagi dirinya. Itu adalah fakta yang tak terbantahkan. Kita juga tidak dapat memvonis miring dan memandang sinis pada orang-orang apatis. Introspeksi adalah hal yang utama, apa memang keberadaan dan ketidakberadaan pemimpin tidak memberikan perbedaan?

Keempat, menurut hemat saya, apatisme juga dapat lahir dari masalah keterwakilan. Bisa saja para pemimpin telah bekerja dengan pola yang baik sesuia dengan yang direncanakan. Tapi, apabila pemimpin yang ada dan para pelaku aktivitas sosial serta politik hanya berasal dari golongan terbatas, sangat mungkin akan muncul kekecewaan dan apatisme masyarakat.

Contoh konkret ada di depan mata. Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk menjadi perwakilan daerah disamping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah hasil dari akumulasi kekecewaan ketidakterwakilan daerah dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) versi orde baru. Terobosan “senator-senator’ dalam DPD diharapkan dapat menerangi kegelapan pola perwakilan DPR, yang bahkan sampai saat ini masih diragukan kinerjanya. Jadi, orang-orang yang duduk dalam pemerintahan baik global sampai kampus memungkinkan apatisme terjadi secara otomatis.

Kelima, hal ini lebih spesifik terjadi di kampus kita. Kenyamanan dan keamanan yang tersedia bagi mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara telah menyurutkan semangat banyak kalangan untuk “beraksi” dan mencurahkan semangat, simpati, dan antusiasme pada kepemimpinan dan kegiatan kampus. Jaminan kerja dan ancaman Drop Out telah “mencegah” banyak mahasiswa untuk tetap berlindung di zona nyaman. Walau banyak orang menganggap STAN sebagai kampus perjuangan, tapi idealisme yang kabur, rasanya akan menimbulkan persepsi bahwa STAN hanyalah persinggahan sebelum bekerja. Terminologi perjuangan hanya ada dalam awang-awang belaka. Benarkah? Pertanyaan yang perlu kita renungi bersama.

Rasanya lima hal di atas cukup untuk memberikan alternatif jawaban atas pertanyaan yang telah penulis ungkap pada bagian awal tulisan ini, Mengapa ada apatisme? Darimana apatisme bermula? Sekarang sampailah kita pada bagian yang krusial. Lalu apa?

Apa yang dapat kita lakukan? Membiarkan? Dengan sendirinya seperti kata Florynce Kennedy, kita telah menduduki apatisme. Dan secara tak sadar memeliharanya. Mudah saja, hanya keterbukaan dan sikap yang lebih permisif tapi bertanggungjawab yang bisa menjadi jembatan menuju jalan keluar. Bila kita hanya memandang rendah dan sinis kemudian terus ditelan kebingungan saat menghadapi apatisme, menurut hemat penulis sama saja dengan menabur pupuk pada pohon tua bernama apatisme. Introspeksi adalah jalan keluar. Membuka diri adalah solusi pasti. Bersikap adil, amanah, dan menentang pengekangan yang diskriminatif adalah langkah awal menuju kehidupan sosial politik yanglebih berwarna. Seperti kata Immanuel Kant, pemecahannya ada pada kombinasi apriori (nalar) dan aposteriori (pengalaman). Keduanya telah tersaji di depan kita. Bila kita terlalu egois, dan menafikaan salah satu atau bahkan keduanya. Maka pemecahan apatisme selamanya akan menjadi retorika belaka.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Akuntansi Syariah (bukan) Sebuah Ulasan

Akuntansi Syariah

(bukan) Sebuah Ulasan

Terlalu naif rasanya jika penulis harus mengaku bahwa tulisan ini adalah sebuah ulasan mengenai akuntansi syariah. Ini disebabkan karena penulis memang tidak memahami detail teknis pelaksanaan akuntansi syariah selain apa yang biasa disebut, garis besar.

Diskusi multimateri terjadi pada Senin malam lalu (13/11). Diskusi yang menarik pembicaraan sisi teknis akuntansi syariah (yang meliputi non-Riba dan penggunaan metode cash basis) kembali pada perdebatan klasik mengenai ketangguhan rezim Eropa dan Islam. Dua klaim yang bertabrakan mengenai kepemilikan orisinal atas ilmu akuntansi mengawali pertarungan yang kemudian menjadi ideologis.

Diskusi dan perdebatan dengan berbagai hal yang diikuti dengan kata “syariah” entah kenapa selalu nyaris terjadi dengan tensi yang tinggi. Kenapa? Jelas, karena konsep yang ditawarkan memang acapkali, sebagian atau keseluruhan, bertabrakan dengan konsep yang dijalankan oleh masyarakat banyak. Misalnya keraguan seorang kawan yang mendalami akuntansi ketika mengetahui cash basis digunakan oleh akuntansi syariah. Apakah relevansinya memadai dengan perkembangan akuntansi keuangan global?

Keraguan seperti ini akan memaksa logika untuk mencoba angkat bicara. Kaum pendukung akuntansi syariah, misalnya, akan memeras otak untuk mencari landasan logis terhadap pilihan ideologis akuntansi syariah terhadap metode yang diaplikasikan. Pun para liberalis akan sepenuh tenaga mencari “kelemahan” dalam pilihan ideologis itu. Koridor pembicaraan teknis serta merta akan melebar menjadi filosofis agamis.

Dalam keadan demikian, sekularitas, memang terlihat menonjol. Kesan yang muncul adalah fakta dan keyakinan harus diadu, dan apa yang paling mudah adalah menyerah kalah, sembari berkata “Kita dapat menggunakan konsep syariah jika disesuaikan dengan keadaan dan bertahap.” Penggunaan tahapan mungkin dapat dimaklumi. Merubah konsep yang mengakar selama puluhan tahun bahkan ratusan memang bukan simsalabim. Yang jadi masalah adalah bila terminologi penyesuaian diterjemahkan menjadi pengangkangan terhadap keyakinan. Penyesuaian-penyesuaian yang imitatif, dan secara substansial tak berbeda dengan metode konvensional berhaluan liberal.

Inilah yang terjadi dalam pembuatan standar pelaksanaan akuntansi syariah. Secara kasat mata tak jauh berbeda dengan akuntansi konvensional. Jika pelaksanaannya tak banyak berbeda (yang membedakan hanya penampilan pegawai bank syariah dan konvensional misalnya), maka mimpi menegakkan syariah di Indonesia bagaikan membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan. Masihlah sebuah perjuangan dan perjalanan yang panjang.

Lalu? Tak solusif memang bila tulisan singkat ini hanya bicara sana-sini. Karena memang tak ada objek konkret yang dapat dituju. Maka, membuka jalan perubahan dari diri sendiri adalah titik mulai yang tepat, dan diharapkan secara masif dapat berbuah kesadaran otentik murni terhadap pentingnya kajian metodis atas ke-syariah-an akuntansi.

Toh, perubahan yang grasa-grusu memang bukan pilihan yang sangat bijak. Karena, gaya “asal ada dulu” tak pantas lagi didengungkan. Kita harus sudah berada pada tahapan matang dalam pelaksanaan akuntansi syariah. Untuk itulah, dalam hal ini, sekali lagi sekularitas tak dapat diterima. Perancangan standar, sebagai awal, tak dapat dilakukan oleh akuntan atau ahli agama. Yang dapat melakukannya dengan sangat baik adalah akuntan yang ahli agama.

Tapi, jika memang akuntan seperti itu masih langka layaknya badak cula satu, maka yang paling mudah memang perubahan kecil oleh siapa saja melalui sarana diri sendiri. Sehingga, walaupun sistemnya sampah, secara substansial masyarakat dan praktisi dapat memulai sendiri ke-syariah-an walau tanpa embel-embel syariah yang biasanya menakutkan kalangan kiri-tengah.

Bukankah Indonesia memang bukan negara agama? Jadi, ini bukan masalah siapa yang menggagas dan menolak embel-embel syariah. Bukan pula masalah kanan-kiri-tengah. Ini hanya sebuah upaya dialogis untuk mencari jawaban atas kebobrokan ekonomi negeri ini. Memang, Indonesia bukan negara agama, tetapi tak berarti pula Indonesia adalah negara tanpa agama bukan? Jika memang konsep syariah, sejujurnya, memiliki arahan substansial ke arah perbaikan, menghilangkan paranoia terhadap pembahasaan yang arabik bukan sebuah kemustahilan dan penting bagi peradaban bangsa kita.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Demonstrasi: Perjuangan Kontekstual

Demonstrasi: Perjuangan Kontekstual

Oleh: Bobby Savero*

Sebuah memori berputar kembali ke dalam kepala penulis, ketika menonton sebuah film yang berjudul Jakarta 1998, yang mengangkat tragedi sosial politik dalam kurun waktu Mei-Desember 1998, periode dimana proses sebuah rezim korup, yang telah tiga dasawarsa lebih berkuasa, digulingkan oleh rakyat. Korban material dan jiwa turut menyertai peristiwa yang menjadi salah satu tonggak dimulainya reformasi multiaspek di Indonesia.

Kini delapan tahun sudah tragedi itu berlalu. Artinya telah delapan tahun pula reformasi bergulir. Demonstrasi masih menjadi pilihan beberapa pihak untuk menyuarakan kepentingan, ide, dan kritiknya. Demonstrasi sengketa hasil Pilkada, demonstrasi mahasiswa, aksi jahit mulut, hingga demonstrasi buruh terus mewarnai kehidupan demokrasi di negara ini. Tapai apa lacur, cita-cita mulia reformasi, yang konon masyarakat adil dan makmur, tampaknya belum juga tercapai. Demonstrasi pun telah menjadi semakin anarkis, tak berarah, dan impoten. Skeptisisme baru telah muncul, demonstrasi telah kehilangan essensi dan menjadi perjuangan mandul tak berarti.

Apa sebenarnya demonstrasi? Mari kita lihat dari definisi demonstrasi itu sendiri, sebagai pijakan analisis. Demonstrasi adalah tindakan untuk menyampaikan penolakan, kritik, ketidakberpihakan, mengajari hal-hal yang dianggap sebuah penyimpangan. Maka dalam hal ini, sebenarnya secara bahasa demonstrasi tidak sesempit, melakukan long-march, berteriak-teriak, membakar ban, aksi teatrikal, merusak pagar, atau tindakan-tindakan yang selama ini melekat pada kata demonstrasi. Seharusnya demonstrasi juga “mendemonstrasikan” apa yang seharusnya dilakukan oleh pihak yang menjadi objek protes. Sedikit bukti, bahwa dalam pengertiannya saja telah muncul, meminjam terminologi Jaya Suprana, kelirumologi. Bagaimana dengan implementasinya? Kita akan kaji bersama.

Agar analisis ini tepat sasaran, maka penulis dengan sengaja akan mempersempit pengertian demonstrasi menjadi unjuk rasa turun ke jalan seperti yang selama ini menyatu pada persepsi masyarakat. Ada baiknya memulai analisis ini dari pertanyaan, bagaimana relevansi demonstrasi saat ini?

Tanpa bermaksud mengecilkan apa yang dikorbankan untuk demonstrasi, tapi penulis melihat bahwa demonstrasi telah kehilangan relevansinya. Aksi-aksi mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, serikat buruh, massa tak dikenal dan lain-lain yang mengklaim sebagai pejuang masyarakat atau korban otoritas tirani kini tampaknya hanya menjadi angin lalu. Bahkan aksi-aksi demonstrasi saat ini, telah mengundang cemoohan akibat kerugian kolektif secara material atau moril bagi masyarakat luas. Ban-ban yang dibakar, pagar-pagar yang dirintuhkan, pendopo-pendopo Pemda yang dibakar, mulut-mulut yang dijahit, serta korban-korban yang berjatuhan akibat aksi anarki telah menjadi kenyataan menyedihkan yang berujung tanpa solusi. Aksi-aksi ini mungkin akan mengundang wartawan media, tapi tidak membuat keputusan-keputusan publik berubah. Nihil adalah hasil yang riil.

Pemerintah, yang biasanya menjadi objek demonstrasi, pun telah menjadi kebal terhadap aksi protes ini. Mungkin masih terngiang dalam ingatan kita, statement Presiden yang mengatakan akan tetap ngotot menaikkan harga BBM walau masyarakat berniat mengadakan demonstrasi. Frekuensi demonstrasi yang menjadi sering juga membuat aksi ini kehilangan aura semangatnya. Otoritas telah menjadi tuli akan bentuk protes anarkistis seperti ini (entah ada hubungannya atau tidak dengan jumlah dokter THT yang hanya 700 di negeri ini, sumber: data yang disajikan Republik BBM Indosiar 8 Mei 2006).

Lalu apakah demonstrasi memang telah kehilangan makna dan kekuatan perjuangan? Apakah demonstrasi telah kehilangan relevansinya sama sekali? Apakah demonstrasi telah terjebak dalam impotensi yang nyata? Di sinilah penulis memandang bahwa demonstrasi masih memiliki relevansi, hanya saja telah menjadi bentuk perjuangan yang sangat kontekstual. Untuk memahaminya, marilah kita membuka sejarah untuk menyingkap tabir demonstrasi.

Tragedi Tiananmen di Cina, Revolusi Prancis, Revolusi Amerika Serikat, perjuangan-perjuangan kemerdekaan di seantero dunia, Peristiwa People Power di Filipina, revolusi di Rusia, hingga Peristiwa 1966 dan 1998 di Indonesia telah menjadi contoh nyata bagi kita bahwa demonstrasi dan aksi rakyat telah menjadi bagian dari sejarah penting bagi negara maju dan berkembang. Semua menjadi bukti bahwa demonstrasi adalah proses yang wajar dan bahkan kontributif bagi perkembangan dan perbaikan suatu bangsa. Akan tetapi ada benang merah yang dapat ditarik dari kejadian-kejadian demonmstrasi dan mass movement di atas.

Semua gerakan dan perjuangan yang saya sebut tadi, hampir kesemuanya terjadi akibat kepemimpinan pemerintahan yang telah menganut diktatorisme dan atau otoriterian. Pemerintahan diktator di Cina, Rusia, Prancis, dan Indonesia. Pemerintahan penjajah. Sistem negara yng lalim. Kesemuanya telah menjadi pemantik atas terbakarnya semangat berjuang dan perubahan dalam diri masyarakat, sehingga muncul semangat people power.

Itu pula yang terjadi di Indonesia tahun 1966. Apa yang dituturkan Soe Hok Gie dalam catatan hariannya mengenai kediktatoran Soekarno adalah hal nyata. Soekarno yang sanagt berjasa dalam memproklamasikan kemerdekaan RI sekaligus presiden pertama, kemudian menjadi terlalu sentralistis. Orang-orang disekitarnya telah menutup Soekarno dalam hubungannya yang murni dengan masyarakat kemudian membiusnya dengan wanita-wanita cantik di sekelilingnya. Kemudian muncul pernyataan presiden seumur hidup yang makin menegaskan absolutisme kepemimpinannya. Sebagaimana yang dikatakan Lord Acton, sejarawan Inggris abad 19, “Power tend to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.” Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak adalah korupsi yang nyata. Itulah yang kemudian terjadi. Kepercayaan masyarakat pun hilang. Rezim seperti ini memang harus segera ditegur atau bahkan dijatuhkan, maka demonstrasi massa adalah pilihan.

Tahun 1998, bisa dibilang adalah sejarah yang berulang. Soeharto yang telah puluhan tahun memimpin rezim orde baru dan menjadi bapak pembangunan juga sangat berjasa. Tapi kemudian kroni-kroninya telah memanfaatkan dan membatasinya dengan publik. Tragedi Tanjung Priok, Daerah Operasi Militer di Aceh, hilangnya para aktivis, Petrus, atau tragedi trisakti dan Semanggi seakan semakin mengukuhkan betapa mutlaknya kekuatan dan kekuasaan orde baru menjadi seperti apa yang digambarkan Lord Acton. Ketika itu korupsi, kolusi dan nepotisme (sebenarnya sekarang pun masih terjadi), menjadi semacam hal yang ditolerir dalam melanggengkan dan melaksanakan kekuasaan. Ekonomi berbasis utang juga merupakan biang ketidakpercayaan. Saat itu apa yang ditulis oleh novelis Rusia, Alexander Solzhontsyn, dalam artikelnya di The Observer, mengenai negaranya menjadi kenyataan yag relevan di Indonesia, “In our country the lie has become not just a moral category but a pillar of the state!” Di negara kita, kebohongan telah menjadi tak hanya kategori moral tapi pilar negara. Keadaan menyedihkan itu telah menarik rakyat dan mahasiswa untuk turun ke jalan dan menyuarakan kebenaran.

Bagaimana dengan kini? Pasca 1998, cita-cita mulia reformasi mungkin belum tercapai. Namun satu hal, harga mahal yang bahkan berupa nyawa telah dikorbankan oleh para pejuang 1998 telah menghasilkan kebebasan dan perubahan bertahap. Pers yang bebas, ruang kritik yang terbuka lebar, amandemen UUD 1945, lahirnya lembaga-lembaga negara seperti: Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan lain-lain telah menjadi sinyalemen terhadap perubahan di negara ini, terlepas cita-cita murninya belum tercapai.

Justru itulah fokus generasi masa kini. Bagaimana caranya memanfaatkan apa yang telah ditebus pejuang 1998 untuk meneruskan perjuangan mencapai cita-cita Indonesia yang adil dan makmur bisa tercapai. Dalam hal inilah konsep perjuangan yang tepat harus dikedepankan. Kondisi yang dihadapi bukan lagi pemerintahan yang diktator, lalim, otoriter, dan dikelilingi tembok kekuasaan. Tetapi yang dihadapi saat ini mungkin hanya kebijakan yang timpang, pejabat publik yang tidak kompeten, kekuarangan pengetahuan pemerintah mengenai masyarakat, kemiskinan, kebodohan, korupsi, kolusi, atau nepotisme.

Maka kesadaraan akan konteks perjuangan menjadi penting. Ini bukan saatnya mahasiswa dan masyarakat “meruntuhkan tembok”, tapi mengisi ruang kosong yang merupakan sisa-sisa keruntuhan tembok kelaliman. Mengisi ruang publik adalah area perjuangan yang lebih relevan. Menjadi pejabat publik yang amanah, menjadi legislator yang memperjuangkan kepentingan rakyat, menjadi pengusaha yang membuka lapangan kerja, menjadi pegawai negeri yang mau melayani masyarakat, menjadi pegawai swasta yang taat pajak, menjadi aktivis LSM yang tulus memperjuangkan rakyat, menjadi insan pers yang kritis, konstruktif, dan tanggung jawab, menjadi oposan yang ikhlas atau bahkan menjadi pengengguran yang santun adalah posisi dalam ruang publik yang terbuka lebar pasca orde baru demi tercapainya cita-cita mulia.

Ini saatnya menyikapi perjuangan dengan lebih cerdas. Bukan sekedar demonstrasi, teriak dan bakar-bakar ban yang anarki, karena demonstrasi nyata-nyata adalah perjuangan yang kontekstual. Disadari atau tidak, masih ada pihak-pihak yang terus menginginkan Indonesia yang penuh dengan kerusuhan dan terpecah belah. Sebagai pencinta dan loyalis bangsa ini, kita harus lebih wapada untuk menghindari berulangnya sejarah kelam Indonesia seperti yang pernah digambarkan G. W. F. Hegel, salah satu filsuf dan idelis Jerman terbesar, “History teaches us that people have never learnt anything from history” Sejarah mengajari kita bahwa manusia tidak pernah belajar apa pun dari sejarah. Semoga kita lebih cerdas dalam menyikapi sejarah. Amin.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Ekonomi Indonesia, Antara Tionghoa dan Kaum Proletar

Ekonomi Indonesia, Antara Tionghoa dan Kaum Proletar

Oleh: Bobby Savero

Negara menjamin perlindungan, pendidikan, dan kenyamanan pelayanan pada setiap penduduk dari lahir hingga mati”

(Edward Bellamy, Jurnalis dan Eseis AS)

Membaca apa yang ditulis oleh M. Sadli dalam artikelnya yang dirilis oleh Business News, 13 Februari 2006, seperti ditampar di depan umum. Memang ada sebagian pendapatnya yang benar. Tapi juga banyak yang penulis rasa sebagai, suatu kesimpulan yang terburu-buru.

Hal yang ingin saya penulis adalah masalah keberadaan etnis tionghoa yang membedakan kondisi ekonomi di Indonesia dan grup Malaysia, Singapura, dan Thailand. Secara spekulatif M. Sadli mengajukan teori bahwa keberadaan etnis tionghoa di grup Malaysia, Singapura, dan Thailand yang memiliki kekuatan ekonomi sekaligus politik adalah kunci sukses ekonomi mereka. Sedangkan di Indonesia, karena kekuatan politik didominasi pribumi maka tak mampu bangkit dari keterpurukan.

Jika mengikuti emosi, tentu artikel ini sudah layak masuk keranjang sampah. Tapi, penulis tetap berupaya untuk menjaga netralitas pemikiran dan meninjau teori spekulatif M. Sadli tersebut.

Pertama, opini M. Sadli itu sendiri sebenarnya cukup tendensius. Teorinya tersebut seakan telah menempatkan suatu ras sebagai superior dibanding kaum lainnya. Opini ini mirip dengan konsep yang digulirkan oleh Friedrich Nietzche dalam Thus Spake Zarathustra, yaitu konsep Ubermensch alias manusia super. Di mana kekuasaan adalah bagian dari ambisinya, yang kalau perlu kejam dan keras. Sehingga lawan-lawannya lemah. Tidak ada orang-orang lain yang mampu menggantikan si Ubermensch. Tampak betul konsep ini sudah usang. Ketika politik apartheid dihapus, sebenarnya perang terhadap rasisme dan diskriminasi telah memulai momentum. Dan pandangan diskriminatif hanya membawa kita kembali ke zaman primitif.

Kedua, adalah tidak sepenuhnya benar bahwa etnis tionghoa di Indonesia tidak memiliki kekutan politik. M. Sadli pastinya tahu benar mengenai konglomerat-konglomerat yang ada di balik penguasa orde baru. Dapat dikatakan bahwa kebijakan politik ekonomi masa lalu juga “disesuaikan” dengan kehendak para konglomerat. Bahkan ada beberapa dari para konglomerat yang masih menikmati nikmatnya sisa-sisa kejayaan Orba. Walau beberapa juga sudah menikmatinya di dalam penjara.

Ketiga, jikalau memang M. Sadli menilai kaum pribumi terlalu menguasai politik sehingga seakan tindakan diskriminatif telah muncul terhadap etnis tionghoa, berbeda dengan apa yang terjadi di Malaysia, Singapura, atau Thailand. Sebenarnya ini menyangkut masalah historis. Kaum tionghoa di Malaysia, Singapura, dan Thailand tumbuh, berkembang, dan berasal dari keturunan yang sama. Tapi di Indonesia, kaum tionghoa adalah murni pendatang, yang ikut menguasai perekonomian ketika negara masih dijajah. Primitif memang, tapi pikiran tersebut masih ada dan bahkan mengakar bagi sebagian pihak.

Keempat, kesuksesan ekonomi tidak bergantung pada ras. Memang tidak salah ketika kita mengambil Cina sebagai contoh kesuksesan. Tapi kesuksesan ekonomi mereka tak semata-mata karena mereka tionghoa. Justru mereka sempat merasakan kesulitan besar ketika kaum komunis masih menjadi diktator. Keterbukaan akan dunia luar dan dimulainya era demokrasi ekonomi adalah titik balik bagi negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia tersebut.

Hal lain yang membuat penulis mengerutkan kening ketika membaca artikel M. Sadli ini, yang penulis kutip sebagai berikut: “Golongan pribumi adalah mayoritas akan tetapi yang berpendapatannya lebih rendah. Salah satu ciri orang miskin adalah punya nafsu mengkonsumsi lebih banyak dibandingkan pendapatan riilnya. Kalau masyarakat mau mengeluarkan uang lebih banyak dari nilai produksinya maka harga-harga akan naik. Inilah sumber inflasi di Indonesia.”

Penulis tak habis pikir. Bagaimana mungkin secara kasar inflasi dikambinghitamkan pada orang-orang miskin yang justru kesulitan dan bahkan tak punya sama sekali kemampuan ekonomi. Apakah M. Sadli kemudian menafikan bahwa kenaikan biaya produksi yang memicu kenaikan harga, aksi spekulasi investor di pasar uang, kebijakan fiskal dan moneter, dan lain sebagainya secara ilmiah jelas-jelas telah menyebabkan inflasi. Apakah kemudian kaum proletar yang memang mengkonsumsi lebih dari kemampuannya, karena bahkan kebutuhan dasar seperti pangan, papan, sandang, dan kesehatan sendiri telah out of reach, langsung divonis sebagai penyebab inflasi?

Kemudian yang juga pantas dikritisi dalah pandangan M. Sadli yang mengungkapkan bahwa pemerintah terpaksa mengeluarkan uang lebih banyak untuk pembangunan, dan juga kesehatan dan pendidikan sebagai bukti pemerintah telah terjebak dalam “gejala orang miskin” yang selalu mau hidup di atas kemampuan penghasilannya. M. Sadli juga menguraikan bahwa meningkatkan pembangunan ekonomi sebagai laju pertumbuhan ekonomi adalah salah pikir. Menurutnya investasi jauh lebih menentukan laju pertumbuhan ekonomi.

Di titik ini penulis kembali tercekat. Adalah kenyataan bahwa biaya kesehatan dan pendidikan sudah sulit dijangkau oleh masyarakat proletar. Jika subsidi dan pembangunan kesehatan dianggap pemborosan, maka penulis ingin sekali mengetahui pendapat M. Sadli terhadap porsi pembayaran cicilan dan pokok utang luar negeri Indonesia yang sudah teramat eksesif.(Lihat Pie chart di bawah ini sebagai referensi)

Komposisi Belanja Negara dalam APBN 2004 (Rp trilyun)

Pembayaran utang dan cicilan utang yang sangat berlebihan itu rasanya jauh lebih merupakan pemborosan yang nyata. Apalagi utang yang ada sekarang banyak sekali yang merupakan “utang najis”, yaitu utang yang tidak sepenuhnya dipakai untuk membiayai kebutuhan negara, tetapi banyak dikorupsi. Bahkan World Bank pernah membuat laporan (walau tidak dipublikasikan) bahwa 30% utang luar negeri Indonesia dikorupsi. Belum lagi utang dalam bentuk bantuan barang dan proyek yang juga dimonopoli oleh kreditor, yang nilainya tidak jelas. Sekali lagi penulis bertanya, di mana pemborosan yang sebenarnya?

Lagipula, apakah kita harus melupakan tujuan essensial dari berdirinya negara? Ketika Indonesia, konsep yang sejalan dengan eksistensinya adalah teori perjanjian masyarakat, yang didukung oleh Thomas Hobbes, John Locke, Rousseau, dan Montesquieu, yaitu sebuah teori yang menyatakan bahwa terjadinya negara karena adanya perjanjian masyarakat, untuk membentuk suatu organisasi yang bisa melindungi dan menjamin kelangsungan hidup bersama.

Dalam kaitannya dengan ekonomi, pasal 33 UUD 1945 yang telah diamandemen juga secara tegas memberikan definisi perekonomian Indonesia sebagai perekonomian yang berdasar atas demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, kekeluargaan dan keseimbangan. Maka pelayanan kesehatan dan pendidikan adalah bagian dari keseimbangan.

Pencetus teori welfare state, Prof. Mr. R. Kranenburg, menyatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat. Maka akan sangat ceroboh jika pembangnan ekonomi dinafikan, kemudian pertumbuhan ekonomi hanya dipandang dan dikonsentrasikan pada angka persentase belaka. Kesejahteraan rakyat adalah indikator yang sesungguhnya. Sebagaimana yang dtuturkan oleh seorang penulis AS, Mark Lutz:

Economics can no longer be seen as the theory of maximum possible production with consequent effects on welfare, but rather, in the opposite manner, as the theory of maximum possible welfare with consequent effects on production.”

Sebagai penutup, mari kita menyimak apa yang diamanatkan UUD 1945 pasal 34 ayat (2): “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan.” Kita semua, termasuk M. Sadli tentunya, harus merenungi kembali arti angka-angka statistik dan kesejahteraan yang nyata bagi proletar.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Ketika Iblis dan Manusia Bertukar Bingkai

Ketika Iblis dan Manusia Bertukar Bingkai

Sebuah Resensi Jujur terhadap Film Death Note

Oleh: Bobby Savero*

Awalnya film ini direkomendasikan secara berapi-api oleh seorang kawan. Karena penasaran, akhirnya kami sepakat untuk membawa film ini ke dalam forum rutin klub diskusi kami. Kemudian penulis menonton film itu dua kali. Yang pertama, tentu dalam ajang resmi diskusi (walau cuma setengah), lalu penulis tonton sekali lagi di rumah secara utuh.

Secara visual, penulis tak perlu berbicara lebih jauh. Shusuke Kaneko secara apik telah mengemas film ini menjadi film dengan gabungan kekuatan lakon dan teknik sinematografi mutakhir. Untuk hal yang kedua, penulis memuji Hiroshi Takase dan Hajime Oikawa yang menggarap sinematografi dengan baik.

Bagaimana pun, kekuatan film ini yang terbesar ada pada ceritanya. Kisah yang diangkat dari komik Jepang berjudul sama ini menceritakan seorang anak muda idealis berlatar belakang mahasiswa hukum, Light Yagami, yang berasal dari keluarga pejabat kepolisian terhormat merasa frustasi dengan impotensi hukum terhadap banyak kasus yang tidak dapat tersentuh hukum.

Hukum yang sejatinya adalah alat utama menegakkan keadilan ternyata tak mampu berbuat banyak. Light merasa terinjak naluri kemanusiaannya, ketika melihat pembunuh begitu bebas berkeliaran sambil menertawai tangisan pedih keluarga korban. Tapi, ia yang berlatar belakang keluarga polisi saja tak mampu berbuat apa-apa, ia membayangkan banyak pihak lain yang tertindas. Hingga akhirnya keadaan berubah saat ia menemukan Death Note. Sebuah buku magis yang mengantarnya pada kemampuan mengontrol waktu dan tempat kematian siapa pun dengan pengawasan Shinigami, dewa kematian Jepang, yang berwujud menyeramkan layaknya visualisasi Iblis.

Di titik inilah penulis teringat akan kejadian yang menimpa teman penulis. Ayahnya tercinta dicopet dengan modus disisipi bius pada makanannya. Naas, dosis bius tersebut berlebihan, sehingga beliau harus wafat dan meninggalkan anak-anaknya yang masih amat membutuhkannya. Sementara pencopet itu bebas berkeliaran. Seandainya death note adalah kenyataan, tampaknya pnulis akan menggunakan buku itu untuk “menegakkan keadilan” terhadap pencopet bersifat iblis itu.

Konsep keadilan yang bagi penulis menjadi sangat sederhana. Nyawa dibalas nyawa. Sempat terbayang pula dibenak penulis, bagaimana dunia mungkin dapat enjadi lebih baik dengan kehadiran buku yang memunculkan porsi Tuhan dalam kehidupan manusia itu. Nah, tiba-tiba penulis teringat pada hal lain. Film Hollywood bertajuk Bruce Almighty, yang dimainkan dengan konyol oleh Jim Carrey. Film komedi satir yang membawa kita untuk menertawakan kehancuran alamiah yang terjadi ketika manusia mencoba mengambil porsi Tuhan dalam kehidupan.

Death Note, ternyata, pada akhirnya juga mempertontonkan konsep itu. Hanya saja, jika Bruce Almighty menampilkan pesan moralnya secara eksplisit, Death Note hanya secara implisit.

Yang jelas, Light yang tadinya merasa bahwa dunia akan lebih baik di tangannya, dengan menjadi “senjata pembunuh” bagi para begundal justru menjadi begundal itu sendiri. Bagaimana ketika detektif kelas wahid mulai mencium baunya, ia mulai panik. Kemudian membunuh para agen FBI yang sama sekali bukan penjahat. Ya, Light telah menodai cita-cita luhurnya menegakkan keadilan dengan mengoyakkan keadilan itu sendiri. Bahkan pada akhirnya, Light membunuh kekasihnya sendiri, demi memunculkan alibi dan membawanya masuk ke dalam tim investigasi kepolisian untuk mengusut kasus pembunuhan yang ditimbulkannya sendiri.

Itulah, ketika kekuasaan berada pada ketidakmatangan. Melangkahi Tuhan dalam berbagai aspek. Melupakan nilai keadilan dalam penegakan keadilan itu sendiri. Ironi yang berbau satir. Sebuah pesan berharga tersirat yang coba dimunculkan dalm film fantasi horor berdurasi sekitar 104 menit ini.

Sayangnya, film berbasis komik ini memng masih teramat komikal. Ide dasar yang dibungkus cerita di luar areal logika yang sudah cukup, ternyata masih diselipi faktor pendukung yang juga kurang logis. Contoh nyata adalah tokoh detektif utama pada film ini. Bagaimana bisa seorang anak ingusan dapat muncul menjadi detektif terhebat dunia, bahkan dapat mengeluarkan intruksi kepada biro kemanan federal AS. Latar belakang sang detektif, yang dipanggil L, ini juga kabur. Mengaburknnya jauh dari kenyataan.

Kemampuan super abnormal L dan Light dari segi intelektual dan keserbatahuannya seperti menghilangkan dan menafikan nilai-nilai kewajaran dalam hidup. Belum lagi keanehan yang nyata ketika polisi-polisi profesional menjadikan kasus pembunuhan ini menjadi pembenaran terhadap kejahatan magis dan mistis, untuk dibawa ke areal hukum. Suatu kejadian yang hingga saat ini nyaris tak mungkin. Mengingatkan kita bahwa film ini memang diangkat dari komik. Ajang sederhana untuk memupuk mimpi imajinatif yang liar. Sekedar menarik penikmatnya pada rasa penasaran hingga komik berakhir, dengan membawanya pergi jauh dari dunia nyata.

Satu hal lagi, jika di Jepang Film ini mmpu mengalahkan kepopuleran Da Vinci Code jelas ini bukan sebuah bukti valid untuk menyatakan bahwa Death Note lebih baik daripada The Da Vinci Code yang diangkat dari novel karya Dan Brown yang berjudul sama. Bisa jadi, ini akibat sentimen nasionalis. Sesuatu yang wajar. Karena, setelah ditelaah secara jujur, kamuflase yang dimunculkan dalam Death Note begitu sederhana, dan nyaris fiksi dalam keseluruhan. The Da Vinci Code memiliki kamuflase, dan akhir yang lebih kaya. Tak lupa didukung fakta-fakta historis hasil penelitian dan riset yang luar biasa.

Akan tetapi, penulis percaya bahwa ada pesan yang perlu diperhatikan dari Death Note. Karena memang, terkadang kita tak perlu melihat pada substansi penyampainya tetapi pada manfaat atas apa yang disampaikan. The song, not the singer. Death Note adalah sebuah rekonstruksi evaluatif terhadap iblis yang berbingkai kemanusiaan dan manusia yang terjebak dalam bingkai iblis. Sebuah pesan filosofis yang perlu dicermati.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Komunisme, Sebuah Pandangan Objektif

Paranoia. Mungkin itu terminologi yang tepat untuk menggambarkan perspektif kebanyakan rakyat Indonesia terhadap kata komunisme. Ya, dan menurut penulis ketakutan itu telah menjadi irasional. Faktanya, sebagian besar orang tidak mengetahui apa definisi dan isi dari mazhab komunisme. Kemudian, kontroversi seakan menjadi atribut resmi dalam perdebatan dibuat dan dicabutnya peraturan konstitusi yang melarang beredarnya marxisme, leninisme, dan komunisme di Indonesia. Yang lebih fatal, ketakutan itu ternyata didasarkan pada sejarah bahwa komunismelah yang membuat munculnya peristiwa 30 September. Padahal, fakta yang sebenarnya tidak pernah jelas. Kebenaran yang sesungguhnya belum terungkap. Sehingga sejarah yang menjadi landasan ketakutan itu, seperti tidak berdasar.

Inilah yang menyebabkan penulis bersama rekan-rekan intelektual mencoba untuk menguliti komunisme secara objektif, langsung dari “kitab suci” mereka, yaitu Manifesto Komunis. Manifesto Komunis sendiri adalah buah pemikiran dari Karl Marx, yang dibantu oleh Friedrich engels. Manifesto ini juga disusun untuk menjadi dasar bagi pergerakan Liga Komunis, yaitu persatuan buruh rakyat yang pertama.

Jika ditelaah secara terperinci, terlihat benar ke mana arah Manifesto Komunis hendak dibawa. Manifesto ini menjadi semacam panduan dan arah bagi pergerakan buruh, awalnya di Jerman lalu di seluruh dunia. Ternyata, muncul kenyataan yang berbeda dengan apa yang selama ini menjadi stigma bagi rakyat Indonesia. Komunisme ternyata lahir sebagai bentuk perlawanan atas penghisapan, perbudakan, penindasan, dan kesewenang-wenangan kaum konglomerat, yang dalam manifesto disebut kaum borjuis.

Dan memang inilah yang terjadi di berbagai negara saat itu. Atau bahkan sampai sekarang. Kaum pemilik modal terus menjadi kaya, dan melaksanakan “penindasan” ekonomis terhadap rakyat banyak. Rakyat banyak inilah yang biasnya menjadi pekerja, dalam hal ini pekerja kasar yang tidak diberi keleluasaan untuk kemudian dapat mencapai hidup yang lebih bermartabat.

Karl Marx sendiri, dalam mnifestonya juga mencantumkan apa saja yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan itu. Sebagai contoh, menurutnya negara harus melakukan hal-hal berikut yang sedapatnya disesuaikan dengan keadaan masing-masing negara:

1) Penghapusan milik berupa tanah dan penggunaan segala sewa tanah untuk anggaranNegara.

2) Pajak penghasilan progresif yang berat.

3) Penghapusan hak waris.

4) Penyitaan milik semua emigran dan pemberontak.

5) Pemusatan kredit di tangan Negara, dengan perantaraan sebuah bank nasional dengan kapital Negara dan monopoli penuh.

6) Pemusatan alat-alat perhubungan dan pengangkutan ke dalam tangan Negara.

7) Penambahan pabrik-pabrik dan perkakas-perkakas produksi yang dimiliki oleh Negara; penggarapan tanah-tanah terlantar, dan perbaikan tanah umumnya sesuai dengan rencana bersama.

8) Wajib kerja yang sama untuk semua, pembentukan tentara-tentara industri, terutama untuk pertanian.

9) Penggabungan antara perusahaan pertanian dengan perusahaan industri, penghapusan berangsur-angsur perbedaan antara kota dan desa, dengan pembagian penduduk yang lebih seimbang ke seluruh negeri.

10) Pendidikan cuma-cuma untuk semua anak di sekolah-sekolah umum; penghapusan

Beberapa poin masih dapat diperdebatkan. Tapi beberapa poin lainnya justru memberikan perspektif baru dalam mengambil kebijakan. Pemerintahan Indonesia telah lama terkungkung dalam perpektif barat, kapitalisme. Pengambilan kebijakan seringkali hanya meneruskan pemiskinan dan pembodohan. Misal, penerapan utang luar negeri yang eksesif adalah contoh. Beban utang yang sudah begitu berat itu, tidak pernah dicoba untuk dimintai pengurangan apalagi penghapusan. Padahal, jika berbicara utang luar negeri Indonesia, pembayaran utang luar negeri Indonesia adalah perbudakan ekonomi. Mengapa saya katakan seperti itu? Karena, ketika kita menilik utang luar negeri Indonesia yang sebesar Rp 1.300 trilyun dan kemampuan membayar per tahun atas utang pokok dan cicilan utang kurang lebih Rp 71,98 trilyun (asumsi pembayaran tahun 2005), maka secara kasar Indonesia baru akan mampu melunasi utangnya dalam tempo 180 tahun! Itu pun dengan asumsi bahwa hingga 180 tahun itu tidak ada penambahan bunga utang—suatu asumsi yang mustahil. Artinya hingga 180 tahun mendatang Indonesia akan terus mengganggarkan biaya pendidikan, kesehatan, infrastruktur dengan pas-pasan. Sebuah penganiayaan ekonomi. Membiarkan ekonomi Indonesia terus dipaksa menjadi mesin penghasil uang bagi negara donor dalam bentuk perbudakan ekonomi. Menyedihkan bukan?

Lalu, penggunaan utang itu sendiri tidak pernah transparan. Utang dalam bentuk bantuan proyek, misalnya, adalah objek yang kabur. Kita seringkali tidak dapat mengukur berapa besar sebenarnya nilai riil dari bantuan proyek. Belum lagi, setiap bantuan itu dilakukan dengan menggunakan tenaga asal negara donor. Artinya, sebenarnya negara donor sedang melakukan ekspansi pasar dengan membuka akses bagi perusahaan-perusahaan asal negara mereka dengan dibiayai utang yang dibebankan kepada Indonesia. Secara sederhana, Indonesialah yang membiayai usaha pertumbuhan ekonomi negara donor! Padahal pertumbuhan kesejahteraan Indonesia sendiri sudah terlampau menyedihkan.

Itu hanya sebuah contoh. Kebijakan penerimaan utang yang dilandasi kapitalisme. Komunisme memang hadir untuk melawan kemapanan itu, kemapanan yang tidak menyentuh rakyat tapi menyengsarakan. Sehingga alangkah baiknya, kita tidak perlu menjadi takut tanpa sebab. Bahkan, tidak ada salahnya kaum intelektual mulai melakukan diskusi untuk membedah komunisme secara lebih objektif, sekedar untuk memperkaya perpektif dalam mengambil kebijakan.

Akan tetapi, komunisme bukan tanpa cela. Lahirnya ideologi yang didasarkan pada rasa simpati Karl Marx yang melihat penindasan kepada kaum proletar dikombinasikan dengan pemikirannya yang brillian itu juga memiliki celah kerusakan. Logika yang menjadi dasar lahirnya komunisme, juga ikut membuat mereka memiliki semangat untuk memperbaiki semua keadaan, semua tanpa kecuali. Ini mungkin yang agak ceroboh. Termasuk segala tatanan nilai, termasuk agama. Manurut Marx, komunisme bukan melanjutkan segala tatanan nilai kehidupan, tapi membuat yang baru.

Ini yang harus diwaspadai. Sangat diwaspadai, selain kecenderungan mereka untuk memperbaiki keadaan dengan cepat, alias revolusi. Sedangkan kita tahu, revolusi mana yang tak butuh korban. Korban di sini dalam konteks apa pun harus diperhatikan dengan cermat, kita tidak ingin lagi konflik menjamah negeri ini.

Bagaimana pun, tidak ada ideologi yang lepas dari cela. Kapitalisme yang kita sanjung-sanjung dan dijadikan landasan, ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan bangsa kita, yang katanya besar dan bermartabat tidak punya kemampuan untuk mensejahterakan masyarakatnya sebagaimana teori berdirinya negara. Kemana pula tujuan negara kita yang tertera pada pembukaan UUD 1945? Semua hanya menjadi retorika belaka.

Saya hanya mendambakan masyarakat Indonesia yang lebih objektif. Saya tidak kemudian mengagung-agungkan komunisme, malah saya beranggapan kita semua perlu berhati-hati, tapi tidak timpang. Kapitalisme juga berbahaya. Saya menyarankan kita kembali ke nilai luhur kita sebagai manusia. Agama adalah jawaban sempurna. Soekarno telah lama menyadari hal itu. Ia mengerti betul berbahayanya berbagai konsep ideologi. Oleh karena itulah lahir Pancasila, yang merupakan perkawinan dari kebaikan berbagai ideologi. Entah kenapa, Pancasila yang tadinya saya sepelekan, hanya materi pelajaran yang jadi kewajiban formalitas kini tiba-tiba mulai terbit auranya. Saya jadi ingin disebut pancasilais. Itu saya, anda? Silakan membuat persepsi sendiri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Sebuah Strategi Bernama Partai Politik

Partai politik (parpol). Rasanya tak perlu bicara teramat banyak untuk menjelaskan terminologi ini. Setiap orang memiliki persepsi tersendiri yang melekat kuat. Sebagian bilang partai politik adalah kebusukan terstruktur, kumpulan orang-orang yang haus kekuasaan, atau organisasi perusak tatanan demokrasi itu sendiri. Ya sudahlah, setiap orang boleh beropini. Akan tetapi, dalam tulisan ini penulis akan membedah sedikit saja pandangan kontemplatif penulis atas partai politik.

Menurut, UU No. 31 Tahun 2002, Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Klise sepertinya. Jika partai politik berjalan sesuai dengan definisinya, rasanya kita tak akan mendengar cap buruk dialamatkan kepada parpol.

Akan tetapi, kehadiran parpol memang tak terelakkan dalam eskalasi sistem demokrasi di Indonesia. Keutuhan demokrasi ala Indonesia memang terasa akan pincang tanpa parpol. Tak dapat ternafikan memang, kehadiran parpol jelas mengusung kepentingan. Itulah hal natural yang kadang tidak disadari. Parpol memang lahir untuk kepentingan. Parpol lahir adalah upaya sekelompok orang yang memiliki kepentingan untuk kemudian membuat kepentingannya menjadi kepentingan publik. Hal ini memang sahih, sesuai konstitusi, tak terbantahkan.

Pandangan ortodok terhadap parpol harus dipisahkan dari kejernihan intelektual. Dengan menggunakan akal sehat, kita bisa tahu betul bahwa selain racun, parpol juga resep yang dapat dimanfaatkan untuk memanfaatkan sistem politik demi kepentingan rakyat. Masalahnya sekarang, bagaimana resep itu kita aplikasikan secara benar.

Parpol sebenarnya justru dapat dibalik menjadi alat propaganda dan perebut hegemoni rakyat atas pemerintahan. Jabatan-jabatan publik memang ditarungkan melalui proses politik, yang sebagian besar melibatkan parpol. Artinya, tinggal bagaimana memastikan parpol-parpol yang berani “berdarah” untuk rakyat yang boleh bertarung dalam sebuah proses pemilihan yang adil. Sehingga parpol yang berkuasa pada ranah eksekutif atau pun legislatif dapat menggunakan aksesnya, seperti menurut Sigmund Neumann, untuk aspirasi dan keinginan dalam golongan-golongan di masyarakat.

Yang sehat untuk proses se-elegan itu adalah partai-partai dengan senjata pertarungan hanya program. Partai afeksi dan ideologi, bila hanya dimaknai secara fanatis oleh masyarakat hanya akan menghasilkan output Pemilu yang berbahaya. Berbahaya di sini dalam konteks, para eksekutor dan legislator adalah orang-orang dengan kemampuan program minim, tetapi memang memiliki identitas tertentu yang khas. Sayangnya, itu tidak penting.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana membatasi parpol yang lahir dengan kriteria sempurna? Untuk menghindari apa yang disebut Roger Bacon, filsuf penganut skolastis dalam karya besarnya “:Ópus Magnus”, pengandalan pada otoritas yang tidak tepat. Satu-satunya jalan adalah mulai berpikir untuk membatasi parpol.

Cara ini bukan dimaksudkan untuk mengkebiri semangat demokrasi, tapi sebuah perbaikan yang harus kita pahami. Pertama, maraknya parpol sebenarnya merekat dengan euforia demokrasi pasca runtuhnya orde baru. Jadi merupakan efek temporer belaka. Kedua, semakin banyak parpol, maka anggaran pemerintah untuk subsidi parpol akan membengkak pula. Ketiga, kebanyakan parpol sebenarnya, partai berbasis kharisma tokoh. Contoh mudah tentunya dapat dibayangkan rapuhnya Partai Demokrat dan PDI Perjuangan tanpa Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. Masih banyak lagi contoh partai seperti itu, yang mengandalkan ulama ternama, poltikus muda, sampai artis yang m,erasa mampu menjadi pemimpin negeri ini.

Untuk mengakomodasi ketiga hal di atas memang diperlukan sebuah strategi. Layaknya permainan sepak bola, kejelian memanfaatkan pemain adalah kunci utama kemenangan bersama. Strategi ini haruslah menganut pembatasan bertanggungjawab atas lahirnya parpol beserta dengan keikutsertaannya di Pemilu. Menurut hemat penulis, sistem multipartai selektif dapat menjadi acuan baru untuk demokrasi Indonesia yang lebih sehat. Kita dapat terus membiarkan parpol berdiri, asalkan dengan persyaratan ketat (dapat dimasukkan pula electoral treshold). Sehingga, semakin ramping partainya, masyarakat akan mulai didorong untuk memilih berdasarkan program yang ditawarkan. Tidak tendensius pada identitas tertentu.

Perampingan ini akan dapat menghemat anggaran pemerintah pusat maupun daerah untuk subsidi parpol. Kemudian untuk mengakomodasi pihak-pihak yang merasa mampu menjadi pemimpin negeri ini, kita dapat saja menyediakan akses untuk calon independen nonpartai untuk pemilihan presiden. Kita dapat mengaplikasikannya, seperti yang telah dilakukan saat pemilihan gubernur di Nanggro Aceh Darussalam.

Pada akhirnya, masyarakat akan tetap memiliki pilihan yang lebih sehat atas parpol-parpol yang ada. Dan para pemilik modal (dalam hal ini juga kepercayaan diri yang kukuh untuk mencalonkan diri) dapat mendapat akses untuk maju ke pemilihan pejabat publik tanpa harus berafilisasi dengan partai mana pun yang mungkin tak sesuai dengan garis perjuangannya. Hal seperti ini yang perlu ditekankan dalam merancang ulang desain sistem politik Indonesia, menuju sistem perpolitikan yang lebih kondusif, murah, dan representatif.

Yang juga tak boleh lupa diingatkan, adalah setiap perubahan, mengutip pendapat Voltaire, haruslah disikapi dengan pertemuan akal budi sebagai jalan tengah yang memunculkan keutamaan moral. Moralitas ini yang harus dijaga, agar perubahan selalu bernuansa perbaikan. Bukan berbau ambisi kotor kekuasaan. Partai politik memang rentan, akan tetapi dapat dimanfaatkan demi kepentingan rakyat. Tinggal duduk bersama mengatur strateginya, dengan catatan tetap berada pada koridor moralitas. Sulit?

Nah, inilah pendidikan politiknya!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS